Menulis Buku - Nur Elqi

Cerpen Radar Malang - Menulis Buku


Terbit di Koran Radar Malang, Minggu 29 Januari 2017

 Menulis Buku

Nur Elqi





Cobalah menulis tentang masa depanmu di buku. Tentang sosok idaman yang ingin kamu jadikan pacar saat usiamu menginjak tujuh belas tahun, tiga bulan yang akan datang. Tempat kencan pertamamu, ciuman pertama, bahkan hilangnya keperawananmu saat tanpa sengaja kamu merobek jaringan rentan itu saat berlatih yoga.

Tulis pula beberapa banyak pacar yang ingin kamu miliki sebelum mengakhirinya dengan pernikahan. Tentang rasanya diselingkuhi, menyelingkuhi, pacar diambil teman dekat, mengambil pacar orang lain, dan melirik paman-paman yang terus memandangi dengan sikap ingin mendekatimu. Tulis semua itu dalam buku yang tebal, karena banyak sekali yang harus kamu ceritakan tentang mereka.

Kemudian, mulailah menulis tentang suamimu. Laki-laki yang akan memberikanmu anak-anak, cinta, dan perlindungan. Bukan laki-laki yang tiga tahun lalu meninggalkanmu dengan perut buncit, sehingga kamu terpaksa melakukan aborsi. Membuang benih yang ditinggal pergi si penanam, dan menutupi aib dari perbuatan bodohmu sendiri.

Tulislah terlebih dahulu pertemuan pertama dengan suamimu. Deskripsikan secara detail tempatnya. Kalau bisa, ceritakan juga orang-orang yang berada di sana. Jika laki-laki yang menjadi suamimu itu adalah temanmu dulu, yang terpisah beberapa tahun dan kemudian bertemu serta langsung melamarmu. Ceritakan tentang pertemuan kembali itu. Serta tambahkan beberapa momen masa lalu dengannya yang kamu ingat, atau pura-pura kamu ingat agar lebih romantis.

Jika laki-laki yang menjadi suamimu adalah teman sedari kecil, yang selalu berada di sampingmu tanpa berpisah. Pertama, tulislah tentang lamarannya itu. Di mana ia melamarmu, melakukan apa ia saat itu, dan kata-kata seperti apa yang ia rangkai sebelum meminangmu menjadi istri. Lalu tulis kenangan waktu kecil bersamanya, yang samar-samar mungkin akan membuatmu tertawa, tak percaya. Bagaimana mungkin kamu akan hidup lebih intens bersama seseorang yang selama ini selalu berada di dekatmu, mengenalmu seperti saudara sendiri?

Mungkin kamu akan menuliskan tentang acara pernikahanmu. Tentang siapa saja yang datang, reaksi iri dan bangga yang terpecah pada masing-masing temanmu. Celotehan konyol dari sahabat-sahabatmu yang tidak terlalu pantas didengar oleh keponakan-keponakan yang berdiri di dekat kue-kue manis. Mantan-mantan pacarmu yang punya jiwa berani, atau sekedar ingin mengenang masa lalu denganmu sebelum benar-benar dihapus, yang mungkin salah satu dari mereka membuat suamimu cemburu.

Jika kamu tidak merasa sungkan, tulislah malam pertamamu. Kata-kata apa yang diujarkan suamimu setelah ia menutup pintu. Jawabanmu tentang kata-kata itu. Kemudian apa yang kamu lakukan bersamanya. Mungkin akan lebih baik kamu menulis secara detail apa itu. Seperti tertawa saat membuka kado yang berisi pakaian dalam yang menggoda, menangis haru saat surat jatuh dari kado yang ditulis teman-temanmu, yang membuatmu teringat tentang masa lalu, saat masih bersama dan menertawakan hal yang kini tak lagi konyol. Mungkin penamu akan berhenti ketika menggores kata saat menceritakan tentang sentuhan pertama suamimu, sebelum ia melepas bajumu satu persatu.

Mungkin tulisanmu setelahnya bercerita tentang perdebatan dengan ibu suamimu, atau ibumu sendiri perihal cucu, anak yang akan kamu lahirkan. Jiwa modern di dalam dirimu merasa harus menahan untuk tidak memiliki anak secepatnya. Ingin menikmati momen pengantin lebih lama. Setelah dua atau tiga tahun kemudian, kamu akan mulai mempertimbangkan tentang anak. Namun, dirimu tak kuasa menolak saat mereka bersatu untuk memaksamu segera melahirkan. Maka, kamu pun hamil.

Kini tulisanmu seperti jurnal orang hamil. Telat datang bulan menjadi paragraf pertama, kemudian mual, ngidam pertama, ingin benda atau melakukan hal yang tak biasa, berubahnya bentuk perutmu, tendangan pertama dari si kecil, dan sebagainya hingga kamu melahirkan.

Mungkin bukumu akan tersimpan untuk beberapa lama setelahnya, karena kamu harus mengurusi anakmu serta di saat yang sama, memulihkan kesehatanmu. Kamu pun mulai khawatir pada suamimu yang kadang mencuri-lirik pada teman-temanmu yang datang. Dan ia mulai kesal saat kamu dirasa tidak memperhatikannya setelah datangnya si bayi.

Saat kamu kembali mengambil buku yang berisi tulisan-tulisanmu selama ini. Membaca dari awal sampai akhir. Kamu merasa harus mempunyai penghapus, karena ada banyak sekali kesalahan di sana. Terutama pada halaman-halaman awalnya. Namun, kamu kemudian sadar, dirimu menulisnya dengan tinta air di kertas rapuh, sehingga tidak bisa diperbaiki, kecuali kamu ingin buku itu rusak dan tak bisa dipakai lagi.

Kamu akhirnya memutuskan untuk menulis dengan lebih baik lagi mulai sekarang. Menulis setiap kata dengan penuh perhatian, dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti pada halaman-halaman sebelumnya.

Semakin hari, kemampuanmu untuk melakukan kesalahan semakin kecil. Dan kini anakmu sudah dua. Suamimu pun semakin cinta padamu.

Tiap sore hari, di antara jam selesainya kamu mengurus rumah dan menunggu datangnya petang untuk membuat makan malam. Kamu duduk-duduk di serambi samping rumah, menikmati teh hangat dan membaca kembali tulisan-tulisanmu.

Anakmu paling besar, yang mempunyai lesung pipi milikmu dan mata memesona ayahnya, meninggalkan adiknya yang sedang menonton televisi di ruang tengah dan menghampirimu. Ia bertanya tentang buku apa yang sedang kamu baca. Lalu kamu mengatakan bahwa itu buku yang kamu tulis sejak kelahiranmu. Namun, anak perempuanmu yang cerdas itu, meski umurnya baru sembilan tahun berkata bahwa kamu tidak bisa menulis saat bayi. Bahkan tidak bisa bicara saat tali pusar masih bersatu dengan plasenta.

Kamu tersenyum, lalu berkata bahwa kamu memang tidak bisa menulis pada saat itu. Kamu hanya mendapatkan buku itu saja tanpa tahu harus berbuat apa. Baru di umurmu yang keenam belas, tiga bulan lagi menuju tujuh belas, kamu menulis untuk pertama kalinya pada buku itu. Meski begitu, di halaman yang paling awal, ada coretan-coretanmu yang seperti cacing, bukan huruf-huruf indah yang setiap malam kamu lukis dalam halaman-halaman buku itu. Itulah mengapa kamu berani berkata bahwa buku yang kamu pegang sekarang, berisi tulisan-tulisanmu sedari lahir.

Dan ketika anakmu mengerti, ia bertanya lagi. Apakah dirinya mendapatkan buku juga saat lahir? Kamu menjawab, semua orang mendapatkannya. Anakmu kembali bertanya, di mana sekarang buku itu? Dengan senyum lembut penuh kasih sayang, kamu menjawab bahwa buku itu ada di suatu tempat tersembunyi, yang hanya bisa ketahui oleh orang yang berhak mendapatkannya, dan orang itu adalah pemiliknya sedari lahir.





Nur Elqi, lahir dan menetap di kota Malang.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama