PUISI “AKU INGIN” SAPARDI DJOKO
DAMONO
AKU INGIN
Karya: Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya
abu.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya
tiada.
(1989)
Salah satu
puisi dari Sapardi Joko Damono dari manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” adalah
puisi “Aku Ingin.” Puisi angkatan 66 ini cukup singkat dan bermakna namun
bisakah kita menemukan kejanggalan dalam puisi ini?
---------
---------
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Hujan adalah “masa depan” awan. Awan adalah “cikal
bakal” hujan. Yang menjadikan awan tiada sebagai awan dan mengada sebagai hujan
bukanlah hujan itu sendiri, melainkan variable-variabel lainnya, misalnya
angin, gunung yang ditabrak awan sehingga awan tadi terberai menjadi hujan,
perbedaan suhu, atau kuantitas uap air yang terkumpul kemudian menjadi hujan.
Apa yang akan ditiadakan jika yang hendak
ditiadakan sudah tiada? Bukankah pada hakekatnya awan tidak kemudian tiada
melainkan hanya berganti bentuk menjadi hujan?
Dalam puisi di atas, perhatikan bait
pertama, yang memuat 3unsur yaitu kayu, api dan abu.
--------------
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.
Kata “
kayu kepada api yang menjadikannya abu” mempunyai hubungan kasualitas dan
koheren yang pas. Tapi untuk yang bait kedua penulis kurang teliti ketika
menuliskannya, banyak kata yang bisa dituliskan untuk membuat puisi tersebut
estetis, misalnya subjeknya hujan menjadikan awan tiada atau berubah bentuk,
diganti dengan angin, sehingga bait pertama dan kedua bisa saling berhubungan.
Namun
puisi mengikuti persepsi pembaca yang bebas menafsirkan makna terhadap puisi
Sapardi. Beliau sendiri mengatakan bahwa biarlah puisi itu multitafsir.
Api menjadikan kayu abu dan hujan menjadikan
tiada, isyarat dan kata adalah cara. Sapardi selalu sederhana namun penuh makna
bahwa mencintai tak perlu diucapkan
hanya perlu dirasakan bahwa itu ada. Mengubahnya bahkan memusnakan
sosoknya bukan tanpa arti atau untuk hal sia-sia. Bukankah api memberi hangat
dan hujan menumbuhkan alam?
Pertanyaan
lain tentu akan muncul “Bisakah hujan meniadakan awan?”
Hmm,
jadi ingat kata-kata Picasso “Tidak semua orang adalah seniman, namun semua
orang adalah kritikus.”
Sapardi
sama dengan Affandi. Sama-sama ekpresionis, berbeda dengan seniman-seniman
konseptual yang sibuk dengan riset yang sangat ilmiah, ekspresi berarti “pengalaman”
lansung yang diangkat menjadi puisi atau lukisan. Affandi tidak butuh penggaris
sebagaimana Sapardi tidak butuh fisika untuk menjelaskan karyanya. Ini soal
konsep dan estetika, mengali kedalaman rasa melalui puisi “Aku Ingin” sang
penyair sedang mengekspresikan rasa cinta dan ekspresi cinta pasti tidak logis
bahkan anti logis.
Dari
sini kejanggalan yang ditemukan bisa dipahami dan dimaklumi, bahwa penyair
mengungkapan rasa cintanya yang tak terkatakan lewat kata-kata.
Salam
Literasi.
Logika anda yang mempertanyakan bagaimana hujan bisa meniadakan awan, menurut saya itu cukup jeli.
BalasHapusKukuhniam penulis di Kemudian dot com bukan ya?
Hapus