Pria Berpayung Hitam

Pria Berpayung Hitam oleh Thiya Rahmah




Saat hujan turun, keanehan itu terjadi.

Biasanya aku menunggu saat-saat tersebut di balik jendela yang berhadapan langsung dengan halaman depan. Menunggu, sambil menyesap secangkir kopi hangat dan membaca buku. Lantas menghentikan semua prosesi membosankan tersebut saat ia, melintas di depan rumah dengan pandangan menerawang entah kemana.

Ia seorang laki-laki. Wajahnya selalu nampak sedih. Tubuhnya tak pernah basah meski hujan mengguyurnya sederas apapun. Seolah ada payung gaib di atas kepalanya, atau cangkang tak kasat mata membungkus badannya. Jujur, aku tidak pernah tahu siapa nama dan darimana asalnya. Padahal seringkali aku bermimpi pernah bertemu dengannya, di suatu tempat, dengan rentetan gambar yang tidak jelas: gang sempit, tangan-tangan, jas hujan kuning, dan kursi roda.

Seringnya, laki-laki aneh itu akan berdiri di tengah jalan yang tak pernah ramai. Mendongak, seolah berkabung pada langit yang tak mau menyentuhnya. Banyak orang telah menegurnya, tapi setelah itu banyak pula yang mendadak demam dan menutup pintu rapat-rapat. Jika kau nekat masih berbicara pada laki-laki itu , maka hanya satu jawaban yang kau dapatkan: “Aku mencari kenangan.”

Banyak yang bilang, bahwa laki-laki itu adalah pria terkutuk, karena berani berselingkuh dengan istri orang, lantas disihir dukun sewaan untuk tidak pernah merasakan bahagia sama sekali. Ada lagi yang berkata, bahwa ia pernah membawa lari seorang gadis kaya. Karena jatuh miskin, gadis itu akhirnya memilih pulang dan kembali ke pangkuan orang tuanya. Setelah itu, laki-laki patah hati tersebut keluar dari sebuah rumah megah dengan pisau dan tubuh berlumuran darah. Lainnya lagi berpendapat, ia hanya seorang pemuda yang memiliki kekasih cacat berkursi roda. Mereka selalu bahagia, sampai akhirnya ajal menemput sang gadis. Pemuda itu pun berkabung selamanya.

Apapun ceritanya, semua selalu berakhir dengan seorang laki-laki berduka.

Sampai pada suatu waktu, segerombol remaja menghampirinya di tengah jalan. Mereka penasaran, mereka merasa tertantang. Bahkan para lelaki di antara gerombolan telah membuat sebuah taruhan di mana mereka harus membuktikan apakah lelaki tersebut hantu atau tidak.

Kami mencegat pria misterius tersebut. Kami: Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Aku salah satunya.

Payung kami yang warna-warni tak seirama dengan kelabu dan kemuraman pemuda tersebut. Lantas, Adrian maju dan mulai menyunggingkan senyum sombong. Ia berdiri paling depan, paling dekat, paling merasa berani.

“Siapa kau?”

Hening. Tidak ada jawaban. Hujan menderas dan rintiknya bercipratan dari atas aspal dan tepian payung. Kedua matanya menatap aneh ke arah kami.

“Dulu ...” ia bersuara, bukan jawaban biasa yang ia lontarkan. “Saat aku seumuranmu, aku pernah memalak anak kecil. Menonton tontonan yang tidak seharusnya. Membentak Ibu. Dan mungkin, yang paling berat ...,” suaranya menggantung. Laki-laki itu mendadak melempar pandangannya ke arahku. “Hilangnya nyawa Amanda.”

Kami semua membeku. Kami berlima, geming di bawah hujan dan payung. Semua sama-sama menunjukkan respon kaget dan tak percaya saat nama Alamanda disebut. Seluruh tubuhku memanas seketika. Belum sempat aku bertanya bagaimana ia tahu dosa-dosa kami, tiba-tiba hujan berhenti dan rintik terakhir jatuh.

Saat itu juga kami mendapati laki-laki itu telah lenyap di tempatnya. Ia tak mungkin kabur secepat itu, tidak ada tanda-tanda ia pernah melangkah lari. Sejak saat itulah, satu-satu dari kami menjadi gila. Mendapat teror berupa mawar hitam di samping tempat tidur.

Kadang ada yang bergerak ke dalam kolong tempat tidur, seperti rambut yang diseret masuk. Lalu lampu yang menyala-mati tiap pukul tiga dini hari, di manapun kau berada, baik kamar maupun dapur. Dan saat nyala yang keempat, kau akan mendapati mawar hitam itu muncul di hadapanmu.

Seorang teman gadisku yang pertama kali gila. Awalnya ia datang ke sekolah dengan wajah pucat dan pasi. Bercerita mengenai mawar dan tangan-tangan yang selalu membekapnya tiap kali ia tertidur. Di kamar, ketika sendirian, ia bersumpah seluruh tubuhnya digerayangai puluhan tangan penuh koreng dan luka ke kegelapan. Hal yang kemudian membawanya ke rumah sakit jiwa.

Beberapa bulan setelahnya, ia mati karena overdosis. Selanjutnya, kengerian terus menghantui kami setiap musim hujan. Setelah Mira, Johan mengikut jejaknya dengan bunuh diri. Menggantung leher dengan tali tambang biru. Pemakamannya tak pernah begitu seberpengaruhnya sampai-sampai Ferdi ditemukan mati dengan pergelangan tangan tersayat-sayat.

Ada satu wasiat di samping mayat Ferdi, ditulis dengan rapi seolah telah disiapkan jauh-jauh hari.

“Untuk Alamanda, aku minta maaf.”

Hanya aku dan Adrian yang masih tersisa. Tepat setelah tiga tahun kematian kawan kami, aku dan Adrian kembali dipertemukan nasib di bawah hujan. Adrian pulang untuk liburan semester kuliahnya, sedangkan aku masih di sini berkerja, membantu toko-toko dan rumah makan demi mencukupi kebutuhan. Tak banyak yang kami bicarakan, karena bertemu kembali, rasanya seperti membangkitkan kenangan pahit bertahun-tahun lalu.

“Kau tidak takut?” tanyaku, saat kami menunggu di perempatan jalan. Gerimis turun perlahan-lahan.

“Awalnya iya. Aku juga hampir gila.”

“Pernah lihat wasiat Ferdi?”

“Dia meninggalkan wasiat?” Kedua mata Adrian membulat.

Maka kutunjukkan kertas lusuh yang hampir pudar tintanya tersebut. Seketika, mulut Adrian menganga lebar. Wajahnya pucat pasi. Gerakannya patah-patah antara ingin kabur dan bertahan melawan kenyataan. Saat itulah sekumpulan tangan muncul dari dalam tanah, menjegal kedua kakinya, mendorong dadanya, dan membuatnya tersungkur ke tengah jalan saat sebuah truk melintas.

Adrian terlindas tanpa ampun, kepalanya pecah, dan bola matanya lepas menggelinding ke ujung kakiku. Gravitasi jadi lebih kuat dari sebelumnya, tulang-tulangku runtuh dalam satu sentakan ke tanah. Lunglai, aku berlutut dengan kedua mata membelalak terkejut. Jantungku berdetak lebih cepat, perutku melilit dan kepalaku pusing. Ketakutan mengalir cepat ke setiap pembuluh darahku.

Besoknya, ia dimakamkan di samping ketiga temanku yang telah mati terlebih dahulu. Mereka berempat kini terbujur kaku di dalam tanah.

Di acara pemakaman Adrian, mendung datang bergulung-gulung. Menutupi langit dan menurunkan hujan seketika dalam intensitas yang ringan. Lama para hadirin terjaga di dalam tenda. Sampai kemudian satu per satu pulang dengan modal nekat. Aku masih sendiri di sana, menggenggam payung, dan mendapati seorang pemuda berdiri bersisian di sampingku.

Laki-laki itu lagi. Rupanya masih sama: setelan gelap, wajah sendu, dan setangkai mawar hitam yang pekat. Bedanya, kini ia berada dalam jarak yang sangat dekat denganku. Tak ada kehangatan, seluruh tubuhnya murni dingin dibalut kesedihan. Hal janggal lainnya, ketika aku mendongak ke depan, ia sudah di hadapanku menatap.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.

“Mencari kenangan,” balasnya lirih. Kedua matanya beralih pada empat makam di sampingku. “Dulu, aku punya empat orang teman. Mereka kawan mainku yang sangat akrab. Sampai suatu ketika aku mulai membenci mereka.”

Beludru di kerah mantelku terasa menusuk kulit leher, pun hujan semakin deras menitikkan airnya. Kueratkan genggaman pada tiang payung sampai buku-buku jariku memutih.

“Mereka berempat ketakutan karena suatu teror. Seorang bunuh diri karena digantung, sebelum kucekik. Satunya lagi kubius, lalu kuiris pergelengan tangannya sampai kehabisan darah. Satunya yang lain menjadi gila, kemudian mati overdosis setelah kuganti obatnya dengan yang lain. Lalu yang terakhir ...”

Gemuruh semakin menjadi-jadi. Petir mencambuk. Langit meraung-raung dalam kebrutalan cuaca yang tidak terkira. Bersama, kami terdiam terpaku sesaat.

“Ia kudorong ke tengah jalan saat sebuah truk melintas.” Kemudian laki-laki itu tersenyum ke arahku.

Mendadak puluhan tangan tumbuh dari bawah tanah. Menarik-narik gaun, mantel dan sepatuku. Payungku terlepas. Kedua lenganku ikut ditarik.

“Hentikan!”

Laki-laki itu terkekeh pelan.

“Berhenti!”

Tubuhku semakin dalam tertarik ke bawah tanah, layaknya disedot pasir hisap. Tangan-tangan itu semakin kuat mencengkeram. Menancapkan kuku-kuku lunaknya pada permukaan kulitku yang sudah pasi ketakutan. Sia-sia aku melawan, sia-sia aku berontak. Karena pada akhirnya, tubuhku terus tenggelam ditelan kepekatan.

“Alamanda!” teriakku. Terakhir kali, sebelum pasrah pada nasib dan takdir.

Aku kemudian mengambang dalam ketidakpastian. Seperti larut menjadi air mata yang hangat, aku mendapati diriku di permukaan danau yang tenang. Muncul dari cairan berwarna hitam di dalam cangkir yang putih. Ada diriku—yang jauh lebih besar—sedang duduk bertemankan minuman kesukaanku di tepi jendela.

Di sampingnya sebuah pintu terbuka. Muncullah seorang gadis kecil manis dengan rambut terikat dua. Ia memakai jas hujan dan membawa setangkai payung.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Ke tempat teman.”

“Hujan-hujan begini? Nanti sakit.”

“Paling masuk angin.”

“Kalau deman?”

“Tinggal kompres.”

“Aku gak tanggung jawab kalau sampai ingusan.”

“Biarin, wee!” Gadis itu memeletkan lidah. Aku pun balas menjulurkan lidah lalu tertawa ringan dan menggeleng-geleng. Pergi ke rumah teman adalah alasannya bermain hujan.

Alamanda. Aku ingat akan kenangan bertahun-tahun lalu. Wajah bulat telur, cembung dengan pipi gembil yang tak habis dicubit. Sayang ia jarang ada di rumah. Gadis kecil yang menjadi satu-satunya penawar sakitku setelah ditinggal Ayah, juga kakak di dalam sel tahanannya.

Ibu cuma mampu duduk di atas kursi rodanya. Diam menatap hari-harinya yang kian senja. Kadang merajut atau menganyam sesuatu, setidaknya ia sedang mencoba membantu keuangan keluarga kami yang morat-marit. Agar aku tidak terlalu keras bekerja, agar Alamanda tidak setiap hari kabur ke rumah teman karena tidak tahan kesepian.

Mendadak, dari dalam danau hitam, tangan-tangan putih pucat itu bermunculan seperti laba-laba bertangkai yang mencari makan. Begitu rakus. Melahap sejengkal demi sejengkal setiap bagian tubuhku yang tak mampu melawan karena kalah jumlah. Kembali aku ditarik, dipaksa tenggelam dan mengambang dalam ketidakjelasan. Tak yakin bahwa sekarang aku sedang terbang atau berenang. Sampai semburat cahaya buram menyeruak masuk ke dalam mata. Kini aku berada di tepi jalan, di samping sebuah tiang listrik, dengan perempatan sepi yang basah karena hujan.

Badanku tidak kuyup sama sekali, kering seperti di musim kemarau. Padahal hujan begitu hebatnya menghantam bumi seolah membalaskan dendamnya akan hari-hari cerah kemarin.

Aku ingat, ini adalah jalan tempat kakak mengejar Ayah. Pria tidak bertanggung jawab yang kabur begitu saja dari kami. Bahkan sering terjadi pertengkaran antaranya dengan Ibu lantaran kemiskinan yang menjerat kami sekeluarga. Padahal awalnya mereka sangat harmonis. Demi cinta, Ibu pergi meninggalkan keluarga dan harta kekayaan. Sampai kemudian, setelah memiliki tiga orang anak. Kemiskinan membuat Ayah gelap mata dan menyalahkan Ibu berhari-hari. Ia marah karena meski memiliki anak-anak pun, keluarga Ibu tidak juga memberi hati atau sedikit kekayaannya yang berlimpah.

“Mungkin kalau kau mati, baru keluargamu memberikan harta warisan.”

“Terkutuk kau!”

Maka setelah kejadian itu, kakakku keluar dari sebuah gang sempit di salah satu bagian terpencil kota. Ia pulang dengan tubuh lebam dan berdarah-darah. Meski disamarkan hujan, aku tahu ia habis bergumul dengan Ayah dan dihajar seperti biasa. Sampai kemudian sebuah pisau menyembul keluar dari dalam jaketnya.

Kakak dipenjara untuk waktu yang cukup lama. Sayang hidupnya berakhir cepat di sana. Sesingkat panjang tali tambang yang menggantung tubuhnya. Kematian Ayah dan kematian kakak, adalah palu yang memukul kepala Ibu sampai kewarasannya hilang setengah.

Ada suara decak air akibat langkah pendek yang cepat. Seorang gadis mungil dengan jas hujan kuning muncul dari keabu-abuan kota. Ia berlari, memanggul payungnya dengan keriangan hati bak menebar pelangi. Aku tahu, ia sering berkumpul di rumah Ninda. Baik dalam rangka mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong bersama. Di sana, Alamanda seolah menemukan tempat untuk lari demi tawanya yang tak lagi serasi dengan rumah.

Alamanda kecil yang periang, bunga cerah sepertimu adalah anugerah terbesar untukku. Tak sadar kakiku melangkah sendiri. Menuju ke arahnya, ke tempat Alamanda kini menyeberang perempatan yang sepi. Sampai ... ada mobil ... mendekat ... warna merah ... cepat ... Alamanda!

Sebuah tabrakan tak dapat dihindarkan.

Tubuh berbalut jas hujan kuning itu terguling-guling ke bahu jalan. Darah merembes keluar dari tubuhnya. Merosot, aku tak mampu lagi berdiri selain merangkak ke tempat adik kecilku terbaring. Seseorang ... tolong dia ... cepat!

Lalu, dua orang remaja keluar dari dalam mobil tersebut. Mereka adalah kedua temanku! Dan di dalam mobil itu, tersisa dua orang lagi yang juga kawan baikku.

Melihat Alamanda tak lagi bergerak, mereka semua langsung kabur begitu saja. Berbelok ke jalan lain, hilang kemudian. Itulah saat diriku tanpa sengaja datang. Bermaksud mengantarkan tas berisi pelajaran Alamanda, apa daya aku disambut pemandangan yang meruntuhkan setengah kesadaranku.

Aku huyung, berdiri gamang, tak sadar tas Alamanda jatuh dari dekapanku. Saat itu satu pikiranku, membawa Alamanda ke rumah sakit secepatnya. Sampai di rumah sakit dokter menutup tubuh Alamanda dengan selimut putih bernoda merah. Ia menggeleng, aku pun ambruk, tidak pingsan seutuhnya. Hanya duduk dan kehilangan pikiran sesaat.

Balas dendam adalah tujuan utamaku.

Kembali, tangan-tangan pucat itu muncul dari kehampaan dan menarikku menuju kekosongan. Membungkus tubuhku bak kepompong, dan membiarkan diri ini tak bergerak sampai seluruh pandanganku tertutup setapak demi setapak. Aku kembali melayang dan menunggu sekitarku berwarna dari kegelapan menjadi kenyataan. Kini aku ada di tepi sebuah jembatan yang membentang di atas sungai kecil. Berdiri dengan kedua tangan menopang tubuhku di atas pagar pembatas.

Samar-samar kudengar suara langkah kaki di tengah rintik hujan. Pelan namun mantap menghujam tanah. Laki-laki itu lagi. Namun tidak seperti biasa. Kini aku tersenyum padanya.

“Sudah menemukan yang kau cari?” tanyaku.

“Sudah. Aku telah menemukan kenangan.”

“Jadi kau mencariku?”

“Kenanganmu.”


Aku masih tidak paham padanya.

“Untuk?”

“Menghitamkan bunga selanjutnya.” Aku melirik mawar hitam dalam genggamannya.

“Aku tidak suka mawar, Ibu yang suka.”

“Bukan mawar.”

“Terus?”

Setangkai alamanda jatuh dari langit. Pelan, seperti dibawakan langsung oleh seseorang yang tidak kasat mata. Tangan kananku tertadah, menangkup bunga yang mendadak, kuning cerahnya berubah menjadi hitam pekat.

Lantas di atas sungai, segumpal mantel mengambang dibawa arus. Setubuh manusia, dengan beludru di kerah yang kuyup dan wajahnya serupa milikku.

“Kenangan membawanya pergi pada kedamaian,” ucapnya sendu. Tak pernah kulihat ketenangan memancar di wajahnya sejak kali terakhir pertemuan kami—saat ia dibawa polisi.

“Kenangan ya.” Kuputar-putar tangkai alamanda di tanganku.

Hujan terus turun. Guyurannya kian deras seiring arus sungai yang semakin kencang. Dan kini aku tak lagi membutuhkan payung untuk berlindung.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama