Alien

Gordon Wilson ingat betul kapan prosesi makan keluarga seperti ini mulai digelar di rumahnya. Ia mendelik ke tampuk meja di sebelah kanan, tampak Bruce Wisby—bapak tirinya—sedang bersusah payah memotong daging kelinci di piring. Orang tua itu hanya bermasalah dengan jemari kanannya sehingga tak bisa diandalkan lagi untuk menggenggam sesuatu. Dan seperti biasa, wanita di sebelahnya segera membantu si orang tua mengiris daging-daging di piringnya. Wanita itu tahu suaminya akan kesusahan, tetapi malam kemarin ia sudah menyajikan salad dan rebusan kentang serta pie apel, dan siang tadi lidahnya mendamba daging asap kelinci yang dibumbui sedikit rasa ketidakpedulian kepada suaminya. Iya, suami baru ibunya lah yang membawa tradisi makan malam keluarga hampir setiap hari ke rumah itu. Padahal lelaki tua itu tak bisa menggenggam pisau makan. Ironis, pikirnya.

“Gimana sekolahmu, boy?” Suara itu berat dan serak dan selalu pertanyaan macam itu yang terlontar dari jungur Bruce kepada Tommy Wilson—anak tirinya yang lain—yang lebih brengsek daripada kakaknya, Gordon.

“Masih berdiri megah, belum ada serangan alien, atau bencana alam yang sanggup meratakan bangunan terkutuk itu, Bruce.” Bocah sekolah menengah itu tak pernah sudi menyebut ‘bapak’ kepada Bruce—sejak Martha, ibunya, menikahi pria cacat yang mempunyai toko sayuran itu dua tahun yang lalu. “Katakan, orang tua, demi rambut di kepalamu, apakah kau pernah melihat UFO?” ucap Tommy lagi kepada pria di ujung meja sana. Bocah itu selalu penasaran dengan piring terbang. Sejak pertama tahu ayah tirinya berasal dari sekitaran Clapham Wood, ia selalu bertanya tentang alien dan pernah mencurigai Bruce Wisby adalah komplotan sekte pemuja setan dari daerah itu. Tangannya lalu meraih podeng coklat dari meja. Ia sebenarnya mendamba strawberry, tetapi tidak ada sebuah pun di mejanya, padahal ini bukan January. 

“Well, aku tidak peduli dengan rambutku, boy, apalagi makhluk garib dari planet lain,” jawab Bruce sambil menoleh kepada Martha. Istrinya balas memandang lelaki itu, lalu kepada Tom sambil menyodorkan sendok kecil ke mulut bayi delapan bulan hasil pernikahannya dengan Bruce yang sedang berada di keranjang beroda. Tom sering mengganggu adik tirinya itu. Ia iri dengan nama yang diberikan ibunya kepada bayi itu: Jack D. Wisby. Tom menganggap nama Jack lebih keren daripada Tommy.  

“Oiya, Gordy, ajak pacarmu, Mary,” ucap Martha, “kita belum pernah makan bareng.” Lalu Martha menoleh ke suaminya yang disertai anggukan dari pria itu. 

Nama pacar Gordon adalah Meryl Joseph Johnson. Entah karena potongan rambut pacarnya yang mirip Dame Barbara Mary Quant, atau memang ibunya lupa. Gordon selalu mafhum kalau ibunya sering lupa nama seseorang. Ibunya juga suka memanggil tetangganya—dan orang-orang senegaranya— Aamir, padahal imigran pemurung asal India itu namanya Dharmendra. “Oke, Mum. Mary akan senang sekali.”

“Iyah, bawa pantat tepos pacarmu duduk di kursi kayu ini bersama kami, Gordis,” cicit Tommy. 

Kakaknya mendengus lalu melemparkan sayuran di piring ke muka adiknya yang berbeda lima tahun itu. 

“Oh, Mum, lihat apa yang dilakukan anakmu kepadaku!” teriak Tom sambil langsung berdiri dari kursi.

“Tommy Lou Wilson!” seru ibunya sambil menepuk meja dengan keras, “duduk! Bersikap manislah sekali-kali.” Sedangkan di roda bayi, di sebelah kursi Martha, Jack D. Wisby langsung menangis kencang karena Mum lupa memberikan suapan berikutnya.

Gordon mendelik sekali lagi kepada ayah tirinya yang hanya tersenyum geli melihat adegan di depannya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ayah kandungnya—yang sekarang tinggal di Leicester bersama seorang istri pendengki—akan berlaku beda dengan Bruce. Peter Wilson—keparat tukang mabuk itu— pasti akan mendamprat kepala anaknya saat itu juga. Ia akan melempar segala sesuatu yang ada di dekatnya. Diam-diam Gordon bersyukur sambil terus melihati pria cacat yang sedang mengangkat jus jeruk ke mulutnya dengan payah di ujung meja.

***



“Aku pikir kamu adalah alien yang sering dibicarain Tommy.” Gordon menyapu daun yang baru saja jatuh di atas rambut gadisnya. Di belakang mereka berdiri angkuh Mentmore Towers yang megah. Gadis yang diajaknya bicara sedang melihati pemandangan di balik gerbang berterali besi itu, lalu tangannya mengusap-usap kontur bebatuan yang menjulang di sisinya.

“O, ya?”

Lelaki yang sedang kasmaran itu terus mengamati rambut si gadis yang tergerai melewati setengah punggung. Lalu ke warna sienna matanya yang selaras dengan shirt putih bergambar kepala beruang abu-abu yang lebar. Kaki gadis itu dibungkus boots crimson tanpa rok mini yang sedang marak di pandangan, atau berbagai setelan flamboyan lainnya. Saat dedara lainnya sedang kesetanan dengan segala sesuatu yang berbau Carnaby Street, King’s Road, dengan mini dress, mini skirt dan setelan lainnya yang menampakan jangat, tapi ia di luar semua itu. “Kamu alien, bukan dari bumi ini,” ucapnya lagi.

“Tak menjadi Veruschka bukan berarti aku adalah mahluk asing dengan pesawat piringnya, tak mencintai Cliff Richard ataupun The Who tak membuat mataku bisa mengeluarkan sinar laser, Gordon Wilson,” ucap si gadis, “dan memang The Beatles tidak ada apa-apanya dengan Brian The Beach Boys.”

“Oh, aku menjadi naif sekali mendengar hal itu.” 

“Kau pria ternaif yang pernah kukencani.”

“Juga pria ternaif yang pernah menciummu?” Gordon Wilson menyorongkan muka dan si gadis membiarkan lelaki naif itu melumat bibirnya. 

Mereka lalu menapaki jalan kecil di sekeliling taman luas yang berteralis. Si gadis bergumam tentang Wimpy dan milkshake. Seingat Gordon, gadisnya pernah bercerita bahwa ia dulu sempat bekerja di salah satu tempat makan itu di Leeds sebagai pramusaji. Dan tentu saja ia ingat gadisnya suka milkshake. Ia akan mengantarnya ke sana sebelum sore turun.

“O, iya, Mum menyuruhku membawa Meryl ke rumah. Makan malam bareng.”

Gadis di sebelahnya mengusap rambut ketika daun kembali jatuh di kepalanya.

“Aku berharap mengajakmu, padahal,” lanjut Gordon.

“Aku tak pernah peduli hal semacam itu. Andai saja dia bukan Mary Quant.” ucap si gadis. Dia menganggap terlalu banyak Mary Quant di Britania, dan Meryl Johnson termasuk semacamnya, dengan rambut khas dan warna yang semarak di badan.

“Katakan, apa yang spesial dariku?” tanya Gordon.

“Oh, kau selalu bertanya tentang itu. Ini bukan tentang dirimu, honey. Tak harus selalu tentangmu. Tak ada yang spesial. Mungkin ini tentangku saja.”

Lelaki itu selalu penasaran sampai mau mati tentang gadis di sebelahnya. Yang ia tahu cuma beberapa kisah yang pernah diceritakan olehnya sendiri. Bahwa sebelum gadis itu berpacaran dengannya, si gadis pernah mengencani beberapa pria beristri, menjadi simpanan seorang konglomerat sewaktu umur belasan, lalu tidur di samping pengemis di gang kumuh Sheffield. 

Gordon menghentikan langkahnya dan memegang lengan si gadis, “Aku tak bisa hidup tanpamu, Honey.” 

“Lalu matilah dengan kenaifanmu, Gordon Wilson.”


***


Sewaktu Gordon kembali dengan seorang perempuan ke rumahnya di suatu malam, Bruce sedang melesakkan tubuh tuanya di depan TV, menonton serial baru tentang peperangan di luar angkasa, sedangkan Tommy Wilson sedang menirukan lirik The Kinks di kamarnya yang berada di atas. Martha segera beranjak dari dapur dan menepuk pundak Bruce, lalu menghampiri pacar anaknya.

“Kau cantik sekali, Mary,” ucap Martha sambil meraih kedua tangan tamunya.

“Terima kasih, tapi namaku Meryl, Mrs. Wisby.” Pacar Gordon tersenyum sopan sambil menempelkan pipinya yang dipupur tipis ke calon mertuanya, setidaknya itu yang ada di pikiran Meryl. Ia juga sudah diceritakan Gordon bahwa ibunya suka salah menyebut nama siapa saja.

“Ah, iya itu yang kumaksud, semoga kau menyukai ikan salmon, Mary.”

Oh, ayolah, “Tentu saja.” Bibirnya masih terus melengkung.

Di meja makan, sambil mengunyah, Tommy memandangi terus pacar abangnya. Gordon tahu hal itu, ia pun mengawasi tindak tanduk adiknya. Saat abangnya lengah, Tommy menjulurkan lidahnya ke arah Meryl, menggerak-gerakan lidah itu seolah sedang menjilati sesuatu. Dan itu terjadi berkali-kali. 

Sedangkan Bruce, setelah menyapa Meryl dan bercerita tentang musim dingin di kampung halamannya dan toko ikan yang selalu tutup pada hari senin, ia kembali ke rutinitasnya tiap malam: bertanya kepada Tom, “Bagaimana sekolahmu, boy?”

“O, ayolah orang tua,” jawab Tom langsung, “aku bosan kau bertanya tentang sekolah. Tanyalah tentang musik apa yang kudengar, tentang mimpi apa aku semalam!” lantas ia menyurutkan es lemon di gelasnya, dan sempat mengutuk betapa panasnya malam ini. 

“Aku tahu The Kinks, boy!” ucap Bruce dengan suara berat dan serak. Mulutnya masih mengunyah daging salmon yang lembut ketika berucap. Ia bersyukur tidak bersusah payah harus menggunakan tangan kanannya yang cacat malam itu.

Tommy Wilson cengir bangga, “Yeah, fuck The Beatles!” 

“Tommy!” bentak Martha mendengar anaknya mengumpat di meja makan.

“Dan kau tahu mimpi apa aku semalam, orang tua?” Tom jelas tak peduli bentakan ibunya, matanya tambah berapi-api untuk menceritakan semuanya.

“Katakan padaku, boy.”

“Aku bermimpi akulah yang membunuh JFK,” sesungging kebanggaan kembali tergurat di senyum Tom.

Si Tua Bruce terbahak. “Lalu bunuhlah John Lennon, boy!”

Tom—masih dengan senyum bangganya—mengangguk-anggukan kepala sambil memandang bapak tirinya penuh arti. Malam itu bayangan Peter Wilson, ayah kandungnya yang keparat, serta merta kabur dari rasa takut dalam diri Tom.

Gordon hanya bisa mencibir tak jelas lalu mengamati pacarnya yang terlihat anggun sekali. Meryl memasukkan makanan ke mulutnya dengan hati-hati, lalu menahan senyumnya terpasang terus di bibir kecilnya. “Honey, “ ucap Gordon mesra sambil tangan kanannya meraih dan mengusap-usap telapak tangan Meryl.

Meryl cuma tersenyum. 

“Mary, benarkah kau pernah ke Amerika?” tanya Martha.

“Iya, sekitaran tahun kemarin, Mrs. Wisby. Urusan perusahaan. Tidak lama, cuma beberapa hari saja.” 

“Kata tetanggaku, Aamir, pizza Italia sudah mendarat di sana. Ceritakan padaku soal makanan itu, Mary!” pinta Martha.

Ketika Meryl menceritakan soal makanan itu kepada calon mertuanya, Tom kembali menjulurkan dan menggerak-gerakkan lidahnya kepada pacar abangnya. Tapi kali ini hal itu diketahui Gordon yang seketika itu juga melempar sendok. 

“Itu tidak sopan, Tommy!” ucap abangnya. Sendok itu mengenai batok kepala Tom dan terpental ke roda Jack D. Wisby. Bayi itu kaget lalu seketika menangis. 

“Dad!” Tommy berdiri dari kursinya. “Dad.... ” panggilnya lagi sambil menatap Bruce. 

Si ayah tiri masih bengong.

“Lihat apa yang dilakukan anak tirimu kepadaku! Dia mau membunuhku dengan sendok!” teriak Tom sambil menunjuk abangnya.

Yang dipanggil ‘Dad’ menatap sekilas kepada istrinya yang tiba-tiba ikutan terbahak. 

Tentu saja Meryl Johnson tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu seorang Tommy Lou  Wilson baru saja memanggil ‘Dad’ kepada si Tua Bruce Wisby seumur hidupnya.


***


Gadis itu sedang menghadap ke luar dari jendela apartemennya ketika Gordon menghampiri dan menciumi tengkuknya.  Tangannya melingkar ke pinggang ramping si gadis dari belakang, “Aku merindukanmu, Honey.... ”

Hanya asap yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Jemarinya mengapit rokok yang baru dinyalakan. Asap berkelindan, meliuk-liuk melewati punggung tangan, si gadis memperhatikan asap itu keluar melewati celah di jendela. 

Apartemen itu kecil, terletak jauh di pinggiran Mentmore. Gordon berkendara hampir satu jam ke tempat itu melewati kabut yang lumayan tebal. Kamarnya disekat kecil-kecil, sempit dan hampir berantakan. Gordon tahu gadis itu jarang tidur di sana. Kadang ia numpang tidur di apartemen temannya di Leeds. Banyak temannya yang masih menetap di sana. Teman yang ia kenal dari tempat kerjanya yang dulu. Gadis itu pernah bilang kepada Gordon bahwa ia bisa tidak tahan dengan kesepian, tapi kadang ia mencari sepi itu dan terlihat begitu mandiri. Hal yang tak pernah didengar Gordon adalah keberadaan orang tua si gadis. Ia tak pernah mau menceritakannya.

Kemudian Gordon membalikkan badan gadis itu, melumat bibirnya, menyusuri leher jenjangnya. Tangan kanannnya mulai meremas dada. Lalu lelaki itu menarik pelan tubuh selingkuhannya ke atas kasur. Mempreteli satu persatu kancing pakaian, dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi di sekitar dada. 

Si gadis segera menghentikan gerakan lelaki di atas tubuhnya. “Aku masih ingin merokok.”  Ia bangkit, merayap ke ruangan lain, lalu mengambil sebotol bir di kulkas. Kancing pakaiannya masih terlihat terbuka ketika ia merapatkan tubuhnya ke tepi nakas. 

Lalu Gordon melihat tas besar yang kelihatannya penuh di dekat pintu kamar. Ia baru sadar sesuatu. “Apa kau mau bepergian?” tanya Gordon. Si gadis tak menjawab, ia sedang asik mengepul-ngepulkan asap dari mulutnya. “Kamu mau menginap di temanmu lagi?”

Gordon lalu bangkit, merampas rokok wanita itu dan mematikannya di atas permukaan nakas. Bibirnya segera memburu leher gadis itu, memeluk tubuhnya. Tak lama tangannya meneruskan usahanya yang tadi tertunda: mempreteli kancing pakaian. Gordon berhasil melepas pakaian gadis itu lalu kembali melumat bagian-bagian yang telanjang.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Gordon terlalu sibuk mengurusi syahwatnya sehingga tadi ia mengacuhkan derak suara pintu utama yang terbuka lebih dulu. Tapi ia yakin tak mendengarnya sama sekali. 

“Meryl?” mata Gordon terbelalak.

Meryl mematung melihat Gordon Wilson sedang bersama gadis setengah telanjang di pelukannya. Hanya air matanya yang tiba-tiba meleleh.

“Well,” gumam si gadis setengah telanjang sambil tersenyum tipis. Ia mengeluarkan lagi batang lencir dari bungkus rokok lalu menyucuhnya. Asap segera merebak, berkejaran di kamar sempit itu. 

Gordon masih tercenung ketika Meryl menjejalkan kembali langkahnya dari tempat itu. Ia tak habis pikir. Lantas pandangannya lekat ke arah tas besar yang sesak di samping pintu, otaknya terus berputar ke kemungkinan apa yang baru saja terjadi. Lalu ia memandang sengit ke arah gadis setengah telanjang yang masih di hadapannya. “Kenapa kau lakukan ini padaku?”

“Oh, ayolah Gordon Wilson, jangan terlalu berharap ini semua tentangmu. Ini tentangku saja, dan aku selalu penasaran apa yang akan terjadi yang bisa disebabkan olehku. Tapi percayalah, aku tak begitu penasaran, sih.... ”

Lelaki itu masih tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia masih berdiri, syahwatnya berceceran di antara kesadarannya yang harus segera bertindak.

“Kau cukup menangis di depan dia, Honey, dan bilang kau menyesal, lalu kau berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi. Sebenarnya aku tak pernah merasa penasaran dengan Meryl Johnson.”

Lantas Gordon melayangkan tamparan keras ke pipi si gadis. Tamparan yang cukup keras untuk membuat gadis itu hampir tersungkur. Rokok yang tersumpal di mulutnya entah terbang ke mana. Tanpa berucap apa-apa, Gordon pun meninggalkan tempat itu. 

Si gadis bangkit dan langsung tertawa histeris, lalu menyulut rokok lainnya. Dari jendela apartemennya ia melihat sebuah mobil keluar terburu-buru di bawah. Ia menyeka darah dari sudut bibirnya lalu tertawa lagi. Sedangkan langit di atas semakin pekat padahal ini bulan Juni.

Gordon tak bisa mengejar Meryl. Meskipun bisa, ia tak yakin akan bisa menjelaskan semuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Selama dalam perjalanan ia terus saja mengumpat sambil memukul-mukul dashboard dan atap mobilnya. Ia yakin gadis yang tak pernah diketahui asal-usulnya itu yang mengundang Meryl ke apartemennya. “Jalang sialan!” teriaknya. 

Setibanya di rumah, ia langsung naik ke atas, ke kamar. Ia tak menjawab Bruce yang bertanya dari mana, pun pertanyaan Martha. Suara cemplang TV dari bawah hanya sampai ke pintu kamarnya. Gordon membanting pintu itu berkali-kali.

Tommy tiba-tiba masuk begitu saja, menghampiri Gordon. “Aku mau minta maaf.”

Gordon sudah terlentang di atas kasur, pandangannya kosong ke langit-langit, dan bergumam agar adiknya segera pergi dari sana.

“Aku mau minta maaf, aku tahu aku salah.” Tom tak mau pergi. “Aku pernah bilang bahwa bokong pacarmu tepos. Ternyata salah, aku tidak tahu ternyata Meryl wanita berbokong besar, Gordis.”

Gordon seketika itu bangkit lalu memukul kepala adiknya berkali-kali. Ia menendang perut adiknya ketika sedang terhuyung sampai ke luar kamar. Lalu lagi dan lagi. Kepala bocah itu sempat membentur dinding sebelum akhirnya terjatuh dari tangga dan bergulingan di anak-anaknya. Kepalanya bocor, dan dari sana darah menggenangi lantai di depan meja makan. Tommy Lou Wilson tak akan pernah bangun lagi.  

Sesaat sebelum itu, Tom sempat mendengar ibunya menjerit, teriakan ayah tirinya menggema serta bayang suara lainnya yang semakin jauh sampai lenyap, dan terakhir ia melihat Gordon merupa ayah kandungnya, Peter Wilson. 

*


Z, 2016

Z

Ternyata cuma Regular Everyday Normal Mutavaka

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama