Waktu yang
Tepat untuk Berhenti Menulis
Shin Elqi
Hari ini
saya mendapat pertanyaan tidak biasa dari seorang teman. Ia
bertanya kapan saya akan berhenti menulis. Saya tidak
langsung menjawab pertanyaan itu, karena jawaban yang sudah tersusun di dalam
kepala bukan jawaban yang serius, hanya spontanitas mengingat kami teman dekat.
Tidak mungkin saya menjawab pertanyaan yang diajukan
dengan keseriusan itu dengan semacam kalimat:
"Ketika
aku bertemu dengan Om Pram sambil menertawakan Eka Kurniawan."
Di pojok
kafe dekat Matos kami duduk berhadapan. Berbincang tentang kemenangan beruntun Sashihara Rino di pemilihan umum tahun ini,
juga Portugal yang sedari awal tidak terlalu dijagokan, kemudian pindah ke
hasil MotoGP Jerman kemarin. Kami sepakat Valentino Rossi terlalu banyak makan
spageti sehingga ia jadi sombong dengan pengalaman, mengabaikan saran timnya,
dan betapa Marquez menjadi anak genius
dan bijaksana dengan cepat, mengingat satu tahun lalu ia berharap menjadi
Juliet di panggung megah Shakespeare. Asu Shakespeare dengan nama-nama tak berartinya.
Perbincangan
yang tak berarti memang, tetapi menyenangkan. Selalu menyenangkan membahas
drama orang lain, apalagi yang terkenal, mudah
didapat info dan datanya. Tidak mungkin kami bisa membahas tentang drama percintaan antara Emilia dan Julio[i], atau Yeong-hye[ii] yang kehidupannya
seketika berubah saat memutuskan menjadi vegetarian.
Orang-orang yang tak terkenal, tidak kami kenal, dan sulit untuk mengenal
mereka. Hanya orang-orang yang tidak pernah melakukan onani yang mungkin bisa
mengenal mereka. Kami, hanya dua lelaki tanpa istri atau kekasih, dan masih
betah mencium harumnya halaman buku.
Sesekali di
tengah perbincangan, kami melirik ke meja
sebelah. Ke arah gadis-gadis mahasiswi dengan keempat pacar mereka: telepon pintar. Tanda kami masih normal dan lebih suka
burungnya dikulum pacar daripada mengulum burung orang lain.
Mungkin saya
yang lebih dulu membawa perbincangan biasa ini ke arah yang lebih serius. Saya
bertanya padanya kenapa ia berhenti menulis. Tulisannya bagus-bagus, bahkan
terakhir yang saya baca tidak ada celah untuk dikritik. Ia telah melampaui saya
di segala bidang, kecuali ukuran burung. Saya tidak akan kalah darinya.
"Rasa
bosan," katanya menjawab. "Tidak ada minat lagi. Tidak bisa menopang
kehidupan. Lebih baik mencari kerja yang layak untuk hidup daripada
terlunta-lunta di dunia itu. Jalan menjadi penulis
bukan hanya sunyi, tetapi juga sengsara. Miskin. Dan kemiskinan adalah
kebodohan paling anjing di dunia."
Saya
merasakan rasa frustrasinya. Sinar di matanya
menandakan ia telah menyerah. Mungkin kalau ia lulusan sarjana, akan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak
dengan segera, tapi ia hanya lulusan SMA, dan dulu ia
berpikir jalan satu-satunya jalan untuknya bertahan hidup adalah dengan menulis. Jika ia
berhenti menulis, itu sama saja dengan bunuh diri.
Tidak
seperti Ernest Hemingway yang seakan-akan gen
bunuh diri telah tertanam di keluarganya, atau Yukio Mishima yang bunuh diri dengan cara kesatria. Meski mereka mati dengan cara
demikian, tetapi tetap hidup di batok-batok kepala yang membaca buku mereka. Namun, temanku ini akan seperti Samiran dalam Gerilya Kota milik Eka
Kurniawan, yang mayatnya tidak pernah ditemukan dan temannyalah yang
kemudian dikenang.
Teman saya
tidak berhenti di situ. Ia terus mengeluhkan bagaimana lima tahunnya yang
berharga ia sia-siakan untuk mimpi semu. Masa mudanya yang berharga, hanya
untuk menulis.
"Penulis
adalah orang paling sinting di dunia. Mereka berpendapat bisa merubah dunia
dengan tulisan, dengan kata-kata dusta di atas pohon-pohon berharga, dan
namanya akan dikenang serupa pahlawan yang gugur membela negara. Omong
kosong!"
Saya tidak
membantah atau menyetujui pendapatnya, hanya
mengangguk dan mengangkat cangkir kopi yang tandas
setengah sebagai sikap menghargai. Siapa pun yang
meladeni lawan bicara saat sedang emosi adalah orang bodoh. Saya
selalu percaya itu, dan kapanpun berhadapan dengan orang yang sedang emosi,
saya hanya diam, mendengarkan. Lebih menghemat energi, lagi pula bisa melihat
tontonan gratis. Bukankah drama yang baik selalu melibatkan emosi yang kuat?
Teman saya
terus memaki penulis-penulis dunia, bahkan dari dalam negeri pula. Lama-lama ia mirip diri saya saat kecil, ketika saya masih kelas
satu SD. Saya siswa paling miskin saat itu. Baju putih yang saya pakai didapat dari
baju ayah yang diubah oleh ibu sehingga bisa pas di tubuh. Celana merah saya dapat dari rok ibu. Ia merubah kain dengan dua lubang itu
menjadi tiga, lalu ditambahi dua saku. Ibu lupa memberi retsleting, sehingga saat saya hendak
kencing, saya harus membuka ikat pinggang yang
terbuat dari sisa-sisa baju putih ayah.
Saya iri pada teman-teman yang baju putihnya
sangat bersih, dan celana mereka yang beretsleting. Mereka juga punya sepatu yang keren, sementara saya bersandal jepit
usang. Setiap pulang sekolah saya selalu
memaki mereka. Mereka tidak akan tahu bagaimana susahnya membuka celana dengan
ikat pinggang kain, berjalan dengan sandal tipis, dan menghirup aroma apak
bapak. Mereka tidak semenderita diri saya yang kelak
akan menjadi orang besar, seperti kata Rhoma Irama yang saban sore terdengar
dari radio tetangga. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, sakit-sakit dahulu
senang kemudian.
Suatu hari
makian saya didengar oleh ibu. Ia memukul saya. Katanya orang yang bicaranya kasar adalah manusia
rendahan, macam preman, macam pelacur.
"Siapa
itu pelacur?"
"Preman
perempuan."
Ibu saya kemudian berkata orang baik adalah orang yang senang
melihat teman mereka berhasil, melihat mereka punya sesuatu yang berharga. Saya pun harus merasa bahagia melihat teman-teman punya seragam
dan sepatu bagus, jika saya ingin jadi orang baik. Orang baik
juga bersyukur atas apa yang mereka punya. Tetapi saya tidak bisa memaksakan diri untuk senang melihat teman-teman punya seragam bagus, saya juga tidak
bisa bersyukur dengan apa yang saya punya,
karena saya tidak punya apa-apa.
"Kamu
punya akhlak, setiap manusia yang lahir di dunia dibekali dengan itu, dan
bagaimana memperlakukannya menentukan nasibmu kelak."
Setelah itu
ibu meminta Bibi Salma ke rumah setiap malam, mengajariku belajar. Bukan
tentang akhlak, tetapi Matematika dan mata pelajaran lainnya. Kata ibu akhlak
harus bersama kepintaran untuk bisa hidup, seperti dirinya yang tidak bisa
hidup tanpa ayah. Saya menurut, karena merasa punya sesuatu yang
tidak dipunyai teman-teman saya. Namun, Bibi Salma
bukanlah orang yang rela melakukan apa saja dengan suka rela. Ia selalu meminta
bayaran.
Bibi Salma
memang selalu begitu. Ia tinggal sendirian di samping rumah kami. Suaminya
pergi. Menurut apa yang saya dengar dari ibu-ibu yang biasanya ngobrol di depan
rumah sambil menunggu tukang sayur, suami Bibi Salma pergi karena perempuan itu tidak bisa hamil.
Saya yang
masih kecil tidak memahami sepenuhnya hal itu, termasuk saat saya melihat ibu
lebih sehat saat kedatangan Bibi Salma
untuk mengajar. Biasanya aku melihat wajah ibu yang kelelahan meski di pagi
hari, tetapi sejak Bibi Salma mengajar, wajah lesu itu hanya sesekali saya
lihat.
Suatu malam
setelah belajar, saya bertanya pada Bibi Salma apa yang diberikan oleh ibu
sampai mau mengajar.
"Sesuatu
yang tidak biasa," jawabnya sambil tersenyum dengan pipi memerah.
Saya mendesaknya untuk menjawab, tetapi Bibi Salma malah menagih
uang seratus ribu jika ingin tahu. Saya tahu jawabannya beberapa tahun
kemudian, meski tiga hari setelah itu saya melihat dengan mata saya sendiri
bayaran yang diberikan. Saya tidak tahu apa itu pada awalnya dan menganggapnya
sebagai mimpi, karena ketika itu saya terbangun di tengah malam, hendak
kencing. Di ruang depan saya mendengar desahan dan tepukan aneh, saat melihat
ke sana saya mendapati ayah saya telentang di atas tikar dan Bibi Salma terlonjak-lonjak di atasnya.
Kesenangan. Dan mereka telanjang.
Setelah tahu
persis apa yang saya lihat malam itu, saya berdoa semoga kemampuan yang
dimiliki ayah turun kepada saya, dan begitu pula kepintaran ibu. Ia tahu tidak
bisa menandingi kemampuan ayah sehingga kelihatan kelelahan di pagi hari, dan
mendapati anaknya yang tidak pintar memaki teman-temannya. Ia bisa
menyelesaikan kedua masalah itu dengan satu solusi, mengundang Bibi Salma ke
rumah. Anaknya jadi pintar, ia bisa tidur nyenyak beberapa hari selama
seminggu, karena Bibi Salma yang menggantikannya untuk meladeni ayah.
Teman saya
masih memaki dan baru berhenti saat sudah merasa lelah. Ia meminum kopinya
sampai tandas, sementara empat mahasiswi tadi sudah berdiri. Parfum mereka
sempat mampir ke hidung saya. Harum, tetapi tidak semenggaerahkan bau kecut badan Bibi Salma yang setiap malam datang ke rumah sampai
saya kelas enam. Aroma tubuhnya yang khas memandu saya menjuarai setiap ujian.
Ketika teman
saya sudah meletakkan cangkir kopinya di tempat semula, saat itulah ia
bertanya.
"Kapan
kamu akan berhenti menulis?"
Saya
menganggap menulis itu seperti menabung. Walaupun hanya
seribu rupiah setiap hari, tetapi jika sudah satu tahun bukannya akan menjadi
tiga ratus enam puluh lima ribu. Apa salahnya menyempatkan diri untuk menulis
di pagi hari sebelum berangkat bekerja, meski cuma satu
atau dua halaman, pasti suatu saat itu akan
menjadi draf novel atau semacamnya.
Lagi pula
saya memperlakukan pekerjaan menulis itu bukan sebagai pekerjaan, apalagi beban. Saya
menganggap menulis itu untuk merayakan hidup yang sudah busuk, kesenangan kecil di pagi
hari yang singkat sebelum berangkat ke tempat yang membosankan. Saya jadi
berpikir ketika punya istri kelak, apakah saya masih bisa menikmati menulis
setiap pagi, ketika menurunkan celana dalam istri lebih menggiurkan. Mungkin
saya hanya akan mengubahnya ke waktu makan siang, atau setelah pulang kerja
sambil menunggu istri berdandan di depan cermin sebelum masuk ke dalam selimut
tanpa memakai celana dalam.
Memikirkan
kemungkinan-kemungkinan itu membuat saya berpikir, saya tidak bisa berhenti
menulis sampai saya mati. Tidak salah juga jawaban spontan yang pertama tadi,
yang saya pikir tidak cocok dengan pertanyaannya yang serius. Akhirnya saya
menjawab dengan kalimat tersebut.
"Ketika
aku bertemu dengan Om Pram sambil menertawakan Eka Kurniawan."
"Dasar
sinting!"
"Penulis-penulis
hebat itu memang semuanya sinting."