Mini Review Entrok - Okky Madasari




Sewaktu membaca judulnya, saya sedikit bingung. Unik, tetapi saya tidak tahu artinya. Dari sampul buku yang bergambar punggung perempuan dengan kutang yang sedang dilepas, saya berpikir, apa mungkin entork adalah kutang? Namun, selama saya di Jawa, saya tidak pernah mendengar kata itu disebut sebagai alat penyangga payudara. Dugaan saya ternyata dibenarkan di babak awal cerita, saat Marni kecil menginginkan barang berbentuk segitiga penopang dada milik Tinah, sepupunya. Ya, entrok adalah kutang.



Sepanjang saya membaca cerita ini, kata entrok hanya disebut di awal cerita dan menjelang akhir. Tidak ada bagian lain dalam cerita yang menyentuh-nyentuh entrok, bahkan, cerita ini jauh dari seputar kutang. Ah, tentu saja. Penulis ini cerdas, kata entrok dipilih menjadi judul ternyata sebagai perlambang. Seperti tangguhnya kutang yang bisa menahan beban dua payudara wanita, begitulah kekuatan seorang perempuan dilukiskan dalam menanggung beban hidup.

Tokoh utama dari novel ini adalah Marni, perempuan buta huruf yang sepanjang hidupnya dirundung duka dan tekanan. Berangkat dari kemelaratan dan kesadarannya memperbaiki hidup, Marni kere berubah menjadi juragan. Usaha kreditan yang digelutinya membuat orang cemburu. Di sini, penulis membenturkan dua persepsi dengan manis. Persepsi Marni yang lugu, pekerja keras, hitam putih, versus pemikiran religius penduduk Sringet yang menganggap usaha kredit Marni disamakan dengan lintah darat yang mencekik dan menyengsarakan. 

Penulis juga menggambarkan keadaan kala itu dengan nyata. Sebagian besar novel ini menelanjangi kebusukan tentara pada masa orba. Dari biografinya, saya tahu si penulis setidaknya pernah mencicipi masa orba. Bisa jadi, penulis mengalami secara langsung kelakuan tentara zaman orba hingga ia bisa menulis kelakuan tentara dengan sedetil itu; korup, semena-mena, menindas dengan kekerasan. Yang paling menarik, penulis bisa memasukkan kejadian-kejadian sejarah secara natural, tidak vulgar. Masih ingat tragedi PETRUS? Tidak ada kata Petrus di dalam novel ini, tetapi pembaca pasti langsung tahu jika anak tetangga Marni yang mati mendadak adalah korban petrus. 

Entrok merupakan novel feminis yang realistis. Ketangguhan perempuan disuguhkan begitu apik melalui Marni. Dalam sebuah keluarga, perempuan adalah otak, tulang punggung, tameng, bahu, juga kaki dan tangan. Marni yang memutar otak mencari rezeki, Marni pula yang bekerja keras keluyuran di pasar. Saat orang-orang menggunjingnya sebagai penyembah berhala, emaknya tuyul, menumbalkan suami dan sopirnya untuk pesugihan, bahkan dimusuhi anaknya sendiri karena beda keyakinan, Marni tetap tangguh dan putih. Bahkan, dalam tindasan tentara korup, Marni tetap unggul.

Saya mengacungkan jempol untuk gaya bercerita penulis yang luwes, membuat saya tidak betah berlama-lama untuk tidak kembali membaca dan menyelesaikannya. Tiga bintang untuk budaya Magetan yang diusung, dan lima bintang untuk ceritanya sendiri. Kejadian-demi kejadian yang menimpa Marni membuat saya secara pribadi geram, kadang mengumpat, mengamini bahwa apa yang terjadi kala itu benar (jarang-jarang saya terbawa suasana saat membaca sebuah novel, ternyata Entrok bisa menghanyutkan saya). Konfik yang bertubi-tubi juga membuat saya enggan untuk beristirahat membaca.

Hanya satu yang membuat saya kurang sreg; saya tidak bisa melihat kekalahan Marni yang mendadak, padahal ia begitu tangguh. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama