Nona Selasa



NONA SELASA

 

Ada bagusnya cuaca buruk menghinggapi kota itu, membuat penduduknya enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih minum bir di rumah dan mengeluh kapan hujan berhenti. Banyak meja kosong, tetapi perempuan itu duduk di tepi jendela, memandang hujan yang mencecah sejak siang. Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, sebatang rokok kurus terbakar sia-sia. Abunya menjuntai hendak jatuh ke lantai. Sebenarnya ia tidak peduli minuman yang ia pesan tidak segera datang, ia biasa menikmati Selasa malam dengan tidak terburu-buru. Namun, seorang pelayan tergesa membawa nampan berisi bacardi. Hampir saja ia terpeleset kubangan air yang menetes dari plafon. Pelayan itu mengumpat pelan, mengutuki bosnya yang terlalu pelit untuk memperbaiki atap bocor. Dari tempat duduknya, ia bisa mendengar umpatan itu.


"Nona, saya tidak bermaksud …."


"Aku tahu." potongnya. Jarinya terlambat menjentikkan rokok, membuat abu menghambur ke lantai. "Bosmu itu memang pelit, aku pernah melihatnya memungut uang tip yang kutinggal untuk pelayan. Duduklah, temani aku ngobrol. Anggap saja kau mengambil jam stirahat lebih awal. Bosmu akan kuurus nanti."


Perempuan itu berpindah dari tepi jendela dan duduk berhadapan dengan pelayan itu. Ia mengamat-amati wajah pemuda berusia dua puluh tahunan itu. Pelayan baru.


"Kamu sudah punya pacar?"


Pemuda itu menggeleng. 


Tebersit penyesalan atas pertanyaan yang barusan meluncur, bukan pertanyaan bagus untuk membuka obrolan. Namun, wajah lugu dengan hiasan kumis tipis yang menempel satu mili di atas bibir, membuat pertanyaan itu terlontar begitu saja.


"Seperti apa tipe perempuan yang akan kaupacari nanti?"


"Seperti ibu saya," jawabnya singkat. "Wanita biasa, taat pada agama dan tahu persis apa yang diajarkan agama untuk menjadi seorang istri."


Pemuda itu menunduk, melipat tangan dan meletakkannya di antara jepitan paha. Perempuan itu terkikik. Benar saja, lelaki itu baru pindah ke kota dan bekerja di bar ini.

"Kebetulan aku sedang dekat dengan seorang lelaki, sepertimu, hanya lebih tua beberapa tahun. Ia punya pandangan seperti dirimu dan aku berusaha memenuhi keinginannya. Jika kau tak kebaratan, maukah kau mengajariku menjadi seorang istri seperti yang kauharapkan?"


Perempuan itu menatapnya, mencari tahu apakah pemuda itu tahu ia sedang berbohong. Kakinya yang tersilang bergerak-gerak lamban, menghitung detik ke berapa pemuda itu akan mulai ceramahnya.


"Seorang istri haruslah taat pada suami." Pemuda itu membuka mulut di detik kesepuluh. "Ia harus menurut pada suami, melayani dengan tulus dan pandai merawat rumah dan anak-anak. Yang terpenting ia punya moral yang baik."


"Kalau itu aku sudah bisa. Ada yang lain?" 


Nona Selasa tersenyum, lalu meletakkan punggungnya di sandaran kursi. Ia mengangkat gelas bacardi di meja, mengibaskan rambut sebelum menyesapnya pelan. Pemuda itu mendongak, mencuri-curi aroma sitrun yang tiba-tiba merebak dari kibasan rambut. 


"Perempuan itu harus perawan."


Bunyi es yang patah oleh gigi terdengar dari mulut perempuan itu, disusul gelak yang tertutup oleh tangan. Bahunya berguncang, membuat rambut di dahinya turun menutupi wajah. 


"Maafkan aku." Ia menahan diri untuk tidak kembali tertawa. "Sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu."


Terlambat, wajah pemuda itu sudah masam.


"Memang seharusnya seperti itu. Perempuan itu harus perawan. Suci hingga saat menikah," ujarnya setengah kesal, kini kedua tangannya berpindah ke dada, terlipat membentuk benteng. "Jika ia tidak perawan sebelum menikah, bagaimana ia bisa mempunyai moral yang baik?"


"Baiklah, kalau kau tak keberatan, aku mau mengungkapkan pendapatku. Namun, sebelumnya kita tos dulu. Ini akan jadi diskusi yang menarik." Perempuan mengangkat gelas, dentingan kecil terdengar sebelum ia menyisir rambutnya dengan jari dan kembali menguarkan aroma sitrun. "Setahuku, moral itu dibentuk seumur hidup, dengan proses yang panjang. Moral manusia mengalami jatuh bangun dalam perjalanannya. Seperti membangun rumah. Ada pondasi, lalu dinding, pintu, jendela, dan atap. Tidak semua bahan bangunan itu sama kualitasnya. Atap yang buruk akan dengan mudah bocor dihantam cuaca." Ia menunjuk langit-langit bar itu dengan sudut matanya, tertuju pada atap dengan tetesan air berwarna cokelat. "Jika keperawanan kuibaratkan pintu, dan suatu saat jebol karena cuaca buruk sebelum  yang mempunyai rumah menempatinya, lantas apakah bisa dikatakan rumah itu tidak layak huni?"


"Tetapi, kodratnya seperti itu. Aku perjaka, sudah sewajarnya mendapatkan perempuan yang masih suci."


"Lalu jika perempuan sudah tidak perawan, ia tidak baik? Tidak bermoral? Katakanlah begini, calon istrimu nanti kaudapati masih perawan saat kau menikahinya. Namun, di dalam perjalanan pernikahanmu, di tahun kedua, ia selingkuh dengan lelaki lain karena … "


Pemuda itu berijngkat, merasakan ada sesuatu yang menyentuh pangkal pahanya.


" … adik kecilmu itu tidak bisa memuaskannya?"


Gigi mentimun perempuan itu mengilat tertimpa lampu, beradu dengan gelas bacardi yang tinggal setengah.


"Aku bisa. Kata siapa aku tidak bisa memuaskan istriku nanti?"


"Hey, bagaimana kamu tahu? Kau masih perjaka hingga detik ini. Aku pun yakin bulu kemaluanmu masih tumbuh separuh."


Ia kembali tergelak, lalu menepuk-nepuk punggung tangan pemuda itu. 


"Jangan diambil hati, aku hanya bercanda. Bagaimana kalau kautemani aku berdansa?" Ia menoleh pada gramaphone besar yang sedang memutar irama swing. "Kupikir, diskusi ini akan lebih mengendurkan urat nadi jika kita melakukannya sambil berdansa."


Malam semakin larut, beberapa kali piringan hitam diputar ulang menemani mereka berdansa. Dua botol bacardi kosong tergeletak di lantai, isinya sudah berpindah ke perut hingga membuat muka mereka berdua seperti tomat ranum. 


"Bagaimana jika kamu tidak bisa menahan keinginan adik kecilmu itu sebelum kamu menikah?"


"Aku punya dua tangan."


"Kamu pernah melakukannya?"


Lelaki itu mengangguk.


"Berarti kamu tidak perjaka."


Kaki yang berayun terhenti sementara. Mereka saling pandang. Ada yang tersinggung dengan pertanyaan itu, tetapi pengaruh alkohol mengubah segala sesuatu menjadi lucu, kaki pun kembali terayun mengikuti irama lagu.


"Aku masih perjaka. Selama aku tidak berhubungan dengan perempuan, meskipun aku memakai tangan, aku tetap perjaka."


"Pandangan yang menarik!" katanya sambil menggelayut. "Aku juga pernah menggunakan jari, cukup dalam. Aku terhitung masih perawan!"


"Tidak seperti itu."


"Lalu?"


"Tidak bisa disamakan antara perempuan dan lelaki."


Lagi-lagi terdengar gelak yang menggelitik. Birai-birai langit pun terbuka ikut tertawa dalam ledakan kilat samar di luar sana membuat kabel-kabel listrik tua dari tiang keropos yang memagari jalan kota terkejut dan memadamkan alirannya seketika. Lelaki itu tahu apa yang harus diperbuat agar bosnya tidak memotong gajinya. Ia menyambar lampu senter dan pergi ke samping bangunan. Di sana teronggok mesin diesel yang tak kalah tua dengan usia bangunan, menggerung dan tersengal dengan suara yang menjijikkan. 


"Bosmu seharusnya membeli yang baru."


Perempuan itu sudah bersandar di ambang pintu, lengan yang lain mengacak di pinggang. Gaun merah yang dikenakannya basah, merapati lekukan-lekukan tubuh. Si lelaki memalingkan wajah setelah beberapa kali dakunnya naik turun. Sedetik kemudian, tubuh perempuan itu sudah menempel di punggungnya. Oh, tidak. Tidak bisa seperti ini, batin si lelaki meronta. Kehangatan yang semula di punggung, berpusar ke dadanya. Sedetik kemudian, pikirannya berlari tunggang langgang menumbuk bayangan ayam betina yang dikejar-kejar jago merah setiap pagi, kemudian pada anjing jantan milik tetangga yang terengah-engah tak bisa melepaskan diri dari pantat betinanya, lalu pada perempuan negeri gajah yang sering dilihatnya mengupas tutup botol dengan selangkangannya. Seperti generator tua disebelahnya yang meraung keras lalu mati, lelaki itu tergolek tak berdaya dengan resleting terbuka.


"Apakah menurutmu, kamu masih perjaka sekarang?"


Petir kembali menyambar, tetapi generator masih belum juga menyala. Terdengar teriakan si bos, tidak jelas mengumpat pada cuaca atau pada si pemuda. Mungkin besi tua itu butuh semalaman untuk menyala, tetapi perempuan itu hanya butuh lima menit untuk mematikan saklar si lelaki. 


"Perjaka untuk perawan, petir untuk hujan, air untuk tanah, maka dunia akan menjadi satu warna, pucat, lalu mati. Apakah kamu ingin hidup di dunia orang mati, Anak Muda?"


Selesai.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama