ATA POLO




Ratap pilu kini menghiasi malam-malam terakhir menjelang hari pernikahan Aya. Gadis manis itu kini menatap nanar purnama yang mulai merangkak naik. Sendiri, bersandar pada kosen jendela kamarnya. Sejak ibunya diusir dari kampung seminggu lalu, kehidupannya berubah drastis. Segala tuduhan, cibiran, bahkan doa-doa buruk selalu mengalir untuknya. Pernikahan yang ia impikan bersama kekasih, terancam dibatalkan. 


Baba Nua—bapak dari calon suami Aya—merupakan Mosalaki di kampung. Ia tak ingin putranya berhubungan dengan gadis yang memiliki hubungan darah dengan Ata Polo. Begitulah warga kampung menuduh Ibu Aya. Kemarau yang tak kunjung usai serta kematian warga yang misterius setahun belakangan ini, diduga karena Ibu Aya telah bersekutu dengan roh jahat. 


“Oh, Manisku … tak seharusnya kau bermuram durja, Sayang. Sebentar lagi kita menikah, apa lagi yang kau risaukan?” 


Seorang pemuda dengan lesung pipit yang begitu menawan, tiba-tiba muncul di balik jendela Aya. 


“Nuel, kenapa kau di sini? Kalau ayahmu tahu, dia pasti—” 


“Ssstttt … dengar Sayang, apa pun yang mereka katakan soal pembatalan, jangan kau pikirkan. Aku akan tetap menikahimu.” 


Nuel menyentuh dagu Aya sembari melempar senyum. Kemudian ia melantunkan sebuah pantun untuk menghibur kekasihnya. “Ae ndora ndale ghale Boawae. Ae ndora ndana ghale tana Ngada. Wta noo nara seru negi sawe. Ine noo Baba ale walo apa (Manis ubi di Boawae. Ubi segar di daerah Ngada. Dua sejoli telah mengikat janji. Ibu dan Bapa mau bilang apa).” 


Aya tersenyum mendengar pantun kekasihnya. Nuel selalu datang mengunjunginya tiap malam walau hanya sebentar, sekadar menghibur duka Aya. 


“Sekarang, tutup jendelamu dan tidurlah lebih awal,” kata Nuel lembut. Aya pun menuruti perintah kekasihnya. 


Nuel beranjak pergi dari rumah Aya. Sungguh berat meninggalkan Aya sendiri. Pikiran buruk selalu menghantui Nuel. Bisa saja Ibu Aya datang kembali dan membawa Aya pergi bersamanya atau mungkin … warga kampung yang membenci Aya, menyakiti dan berbuat hal yang tak terduga. 


Desas-desus tentang adanya Ata Polo di desanya, sudah lama Nuel dengar. Warga kampung—bahkan Ayahnya sendiri—sudah lama mencari sosok pemuja roh jahat itu. Semua bukti mengarah pada Ine Ale—Ibu Aya. Mulanya Nuel tak percaya, sebab sudah lama ia menjalin hubungan dengan Aya dan tak melihat sesuatu yang aneh pada ibunya. Hanya saja, ketika Bapak Aya meninggal dua tahun lalu, Ine Ale tampak berbeda. Bagi Nuel, perubahan itu wajar. Sampai akhirnya, Aya mengungkapkan semuanya pada Nuel tentang perbuatan kotor ibunya. 


*** 


Mana mungkin Aya bisa tidur tenang? Meskipun Nuel selalu berkata bahwa semua baik-baik saja, tapi nurani Aya berbicara lain. Hatinya gundah, seribu perasaan bersalah menindihnya. Ia telah durhaka pada ibunya. 


“Ine … andaikan Ine meninggalkan ritual kotor itu, tentu saat ini aku bisa berbagi kebahagiaan denganmu. Maaf, sungguh Aya tak bermaksud mendurhakai Ine. Tapi perbuatan Ine sungguh keterlaluan,” ratap Aya. 


Lama sudah Aya mencoba memejamkan matanya, tapi ingatannya selalu saja kembali saat kejadian itu. Peristiwa yang telah menjungkir balikkan kehidupannya. 


Aya teringat kejadian malam itu, ketika ia dan Ibunya telah terlelap, seseorang datang berkunjung ke rumahnya. Bapak Nuel yang juga merupakan Mosalaki—tetua adat—ingin menemui Ibu Aya. Segera Aya membangunkan ibunya, pasti ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan oleh calon mertuanya. 


Namun, hal janggal terjadi. Aya tak bisa membangunkan ibunya. Rasa panik merayapinya. Ibunya masih bernapas, tapi tak bergerak sedikit pun. Aya pun meminta tolong pada Bapak Nuel untuk membangunkannya. Hanya seulas senyum yang ia dapatkan dari sang Mosalaki. 


“Ine Ale sedang melakukan aksinya. Ketahuilah, dia telah jadi Ata Polo. Sebagai tetua adat, aku bisa merasakannya,” ucap sang Mosalaki penuh kemenangan. 


“Tak mungkin! Untuk apa Ine melakukan semua ini?” Aya sangat tak percaya dengan ucapan pria berjenggot yang jauh lebih tua dari ibunya. 


“Kalau kau ingin buktikan, pergilah ke tengah hutan malam ini juga. Kau akan lihat jiwa Ine Ale di sekitar pohon tua terbesar di sana.” 


Tanpa pikir panjang, Aya segera berlari ke hutan yang tak jauh dari rumahnya. Tak ada lagi rasa takut, yang ada hanya gejolak rasa penasaran. Jauh sudah ia masuk ke dalam hutan. Aya hafal jalan menuju pohon yang dikeramatkan masyarakat setempat. Sebuah pohon beringin raksasa tempat bermukimnya segala roh jahat. 


Tuduhan masyarakat pada ibunya, begitu merisaukan. Aya ingin buktikan pada mereka kalau ibunya tak melakukan hal kotor dengan menjadi Ata Polo. Dalam kepercayaan sukunya—suku Lio, Ata Polo dianggap makhluk keji hasil persekutuan manusia dengan roh-roh jahat. Ata polo bisa membunuh siapa pun atau menyebarkan malapetaka yang tak ada habisnya. 


Begitu tiba di tempat yang ia tuju, alangkah terkesiapnya Aya melihat sosok transparan ibunya yang bersimpuh di hadapan pohon itu. Wujud itu perlahan berubah menjadi kelelawar besar dan terbang mengitari pohon. 


“Ine!” Aya berteriak lantang. Seketika kelelawar itu diam di tempat. Binatang malam itu terbang menghampiri Aya dengan mata merah menyala dan taring yang mencuat keluar. 


“Apa yang kau lakukan di tempat ini sendirian, Putriku?” Suara ibunya terdengar dari mulut kecil kelelawar. 


“I-ine … ke-kenapa Ine berbuat seperti ini?” tanya Aya terbata-bata. 


“Aku benci direndahkan! Mereka hanya bisa mencaci tanpa tahu penderitaanku. Aku tak mau tertindas lagi sebagai buruh. Apa pun yang kukerjakan selalu salah di mata mereka. Kau tahu betapa marahnya aku ketika orang kampung mencerca keputusanku saat menetapkan belis—mas kawin—yang tinggi untukmu?” 


“Ine, ini bukan cara yang bijak untuk menyelesaikan masalah. Lagi pula, soal belis itu … Nuel sama sekali tak mempermasalahkannya. Ayo, kita pulang. Kumohon lepaskan segala ikatan Ine dengan roh-roh jahat itu,” pinta Aya. 


Gadis berambut ikal mayang itu bersujud di hadapan ibunya. Air matanya tak terbendung lagi. Ia tak menyangka ibunya tega melakukan perbuatan keji seperti itu. 


“Tidak! Aku tak akan melepaskan ini semua sebelum dendamku terbalas. Satu per satu orang yang menyakiti hatiku sudah mati mengenaskan. Malam ini, istri Mosalaki-lah yang akan menerima amarahku.” 


Tawa jahat menggema, kelelawar itu pun melesat pergi meninggalkan Aya. Tak ada yang bisa dilakukan Aya selain menangis. Ia berjalan gontai menuju rumahnya. 


Ine Ale yang telah berubah wujud, tak tahu jika warga kampung telah bersiap untuk menangkapnya. Saat ia terbang menuju rumah Mosalaki, banyak masyarakat yang berkerumun di sana. Bahkan sang Mosalaki sengaja menyandarkan raga Ine Ale di depan pintu rumahnya. Tepat ketika sosok kelelawar itu mendekati raganya, Baba Nua menangkapnya dan memasukkan kembali jiwa Ine Ale ke dalam raganya. Butuh kekuatan magi putih untuk menangkal kehadiran Ata Polo, tetapi seorang Mosalaki sudah memilikinya jauh sebelum ia diangkat jadi tetua adat. 


Baba Nua segera mengikat dan mengarak tubuh Ine Ale yang belum sadar sepenuhnya keliling kampung dengan gerobak terbuka. Nuel yang tahu calon ibu mertuanya diperlakukan seperti itu, merasa tak terima pada perbuatan bapaknya. 


“Pergi saja jemput kekasihmu di hutan. Tak usah urusi masalah ini! Ine Ale pantas mendapatkan hukuman,” tegas Baba Nua. 


“Aya? Untuk apa dia di hutan malam-malam begini?” 


“Kekasihmu tak pernah percaya tentang perbuatan ibunya. Sengaja kusuruh dia membuktikannya di tempat para roh jahat tersegel.” 


“Pohon beringin keramat itu .... Mengapa Baba tega menyuruhnya ke hutan tanpa pengawasan?” 


Tanpa menunggu jawaban dari bapaknya, Nuel segera berlari ke hutan seperti orang kesetanan. Pemuda berkulit kecoklatan itu tak ingin sesuatu buruk terjadi dengan kekasihnya. Namun belum lama Nuel masuk area hutan, matanya menangkap bayangan yang berjalan terseok-seok. Nuel sangat yakin itu bayangan Aya. Tak lama kemudian, muncullah Aya dalam keadaan pucat dan lesu. 


“Aya, kenapa kau nekat berjalan sendirian di hutan, Sayang?” Nuel memeluk kekasihnya penuh kecemasan. “A-apa yang telah terjadi padamu?” 


“Nuel … apa kau masih mencintaiku?” tanya Aya lemah. 


“Tentu, Sayang. Kenapa kau bertanya seperti itu?” 


“Meskipun Ineku seorang Ata Polo?” 


“Apa?!” Nuel sangat terperanjat dengan ucapan Aya. Ia melonggarkan dekapannya dan menatap lekat gadis manis yang masih bergemetaran. Bola matanya memancarkan kesedihan begitu mendalam. “Kenapa kau berkata seperti itu, Aya?” 


Aya pun menceritakan apa yang dilihatnya pada Nuel. Gadis itu tak sanggup bercerita tanpa menangis. Nuel mendekap Aya erat dan berusaha menenangkannya. Nuel yang tak sanggup melihat kesedihan pujaan hatinya, segera menggendong Aya keluar hutan. 


Sesampainya di jalan kampung, Aya dan Nuel melihat arak-arakan Ine Ale. Puluhan obor, taburan bunga serta dengung mantra-mantra mewarnai iring-iringan gerobak yang membawa raga tak berdaya Ine Ale. 


Aya yang telah turun dari gendongan Nuel, nyaris ambruk manakala melihat pemandangan yang mengiris nuraninya. Mata Aya tanpa sengaja bertemu pandang dengan ibunya. Aya merasakan tatapan dengki namun penuh luka milik Ine Ale. 


*** 


Hari bahagia pun tiba. Segala ritual pernikahan telah diselenggarakan. Pesta pernikahan sedang digelar. Aya telah resmi menjadi istri Nuel. Namun sebagian jiwa Aya menderita. Di momen sesakral ini, ia tak ditemani kedua orangtuanya. 


“Kau masih dalam pengawasanku. Kekuatan Ata Polo bisa diwariskan. Berhati-hatilah!” Baba Nua memberi peringatan pada Aya, tapi bukan sebuah ancaman. 


Sebenarnya Baba Nua kasihan melihat Aya. Gadis bermata gelap yang kini telah menjadi menantunya, menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Ia tahu Aya tak ada sangkut pautnya dengan aksi Ine Ale, itu sebabnya Baba Nua memberikan izin pada Nuel untuk tetap menikahi Aya, meski harus mempertaruhkan harga dirinya sebagai tetua adat. Baba Nua berpikir dengan  cara begitu ia bisa mengawasi Aya apabila ilmu hitam milik ibunya merasuk dalam jiwanya. 


Mendadak jeritan histeris mengacaukan pesta pernikahan Aya dan Nuel. Keadaan kacau balau. Sesosok makhluk wanita berwajah mengerikan berjalan mendekati pelaminan Aya dan Nuel. Rambut kusut panjangnya terurai, matanya cekung dan penuh api kebencian, gigi-geliginya sewarna bata, kukunya begitu tajam ditambah lagi seringai yang menambah buruk penampilannya. 


Makhluk itu memakai pakaian adat seperti para wanita lainnya. Namun hanya satu yang berbeda. Sarung tenun yang dipakainya terbalik. Sungguh pertanda buruk. Dalam acara pernikahan, tak diperbolehkan memakai tenun bermotif Jara Nggaja—kuda dan gajah—dalam posisi terbalik, sebab roh jahat akan hadir dalam acara tersebut. Begitulah kepercayaan turun-temurun di kampung tempat Aya dan Nuel tinggal. 


“Aya, kau tak pantas bahagia di atas deritaku! Aku Inemu, yang mengandungmu sembilan bulan dan membesarkanmu. Kau telah mengkhianatiku, Aya. Kau dan seluruh penduduk kampung ini akan menerima balasannya.” 


Seketika kabut kegelapan melingkupi pesta pernikahan Aya. Jerit-jerit kesakitan terdengar dari mulut para tamu undangan. Seluruh badan mereka tiba-tiba penuh koreng. 


“Hentikan Ine Ale! Perbuatanmu sudah keterlaluan!” teriak Baba Nua. 


Mosalaki itu segera menangkis magi hitam milik Ine Ale. Mereka bertarung dalam balutan aura kegelapan. 


Aya gemetar hebat. Ia sangat ketakutan. Nuel segera memeluk istrinya dan mengajaknya menjauh. Namun baru beberapa langkah, mereka tiba-tiba merasakan seseorang membawanya terbang. Ya, Ine Ale berhasil membawa sepasang pengantin ini kabur. 


“Akan kukorbankan kalian untuk penghuni Tiwu Ata Polo.” Ine Ale melesat pergi ke arah Danau Kelimutu. Baba Nua pun mengikutinya dengan kekuatan magi putihnya. 


“Ine, tegakah kau melakukan ini pada anakmu? Jika kau butuh korban, biarkan aku saja. Lepaskan Aya. Dia anakmu,” pinta Nuel. 


“Tidak, Nuel! Kau tak pantas menerimanya. Dia ibuku. Aku harusnya turut merasakan kepedihannya,” sahut Aya. 


“Diam kalian semua! Aku tak punya anak pengkhianat! Kalian berdua sama saja dengan mereka,” geram Ine Ale. 


Tiba-tiba sebuah tumbukan keras menjatuhkan Aya dan Nuel di puncak bukit sebelum Danau Tiga Warna. Ine Ale pun segera menukik untuk mengambil Aya dan Nuel. Namun sang Mosalaki segera menghalanginya. Ine Ale sangat geram. Ia amat membenci Baba Nua. Pertarungan sengit pun terjadi. Mereka saling lempar magi. 


Nuel membopong istrinya yang tak sadarkan diri, menjauh dari bibir kawah danau. Baba Nua masih terus menyerang Ine Ale. Ia tak menyangka kalau Ine Ale punya kekuatan yang cukup besar untuk melawannya. Sang Mosalaki pun kewalahan. 


Dalam keputusasaannya melawan Ine Ale, ia berdoa pada Du’a Ngga’e—Sang Wujud Tertinggi. Baba Nua pun mengucap sebuah sua sasa—mantra keselamatan—untuk mengusir roh jahat Ine Ale. 


“Ata polo wiwi riwu lema ngasu. Tana watu ju angi nitu pai. Nu no’o rubu lela no’o angi. Embu mamu mio mulu kami baru ndu. Mio jejo kami baru dheko. Demi ata nara re’e pesa le pusu. Redha le lema kai su’i le ghae rego le lima ke (Roh yang memiliki banyak mulut dan beribu lidah. Yang berada pada batu, tanah, angin, kabut, dan nenek moyang. Datanglah dan berkumpullah di sini. Para leluhur, kalian berjalanlah lebih dahulu dan kami di belakangmu. Kalau orang berencana jahat dengan kami, makanlah jantungnya. Tariklah lidahnya, patahkan kaki dan tangannya).” 


Seketika sebuah pusaran air berwarna merah darah yang berasal dari Danau Tiwu Ata Polo, melahap Ine Ale ke dalamnya. Teriakan kesakitan Ine Ale tak digubris oleh Baba Nua. Ia percaya, roh leluhur penghuni Danau Tiga Warna telah melindunginya. Kini, roh Ine Ale telah terkurung bersama roh-roh jahat penghuni Tiwu Ata Polo. Sebuah danau yang hingga kini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah manusia yang semasa hidupnya berbuat jahat. 


Akhirnya Baba Nua bisa bernapas lega. Ia kembali ke kampungnya bersama anak dan menantunya yang masih tak sadarkan diri. Setibanya di kampung, Baba Nua memberikan penawar bagi penduduknya yang terkena magi hitam Ine Ale. Sang Mosalaki pun memperingatkan bahwa siapa pun yang bersekutu dengan roh jahat dengan menjadi Ata Polo, maka jasad dan jiwanya akan hancur seketika. 


************* 


 






 Pernah dipublikasikan oleh penerbit Haru pada 16 oktober 2018


 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama