SABDA



SABDA


Sabda namaku. Gadis dengan lidah kelu. Sudah takdir setiap kata yang harusnya kuucap, kutarikan dengan gerak tangan yang gemulai, dengan sorot mata yang mengikuti setiap kata, mengeja sunyi pada pusaran waktu yang terasa panjang.

Sabda bermakna kata atau ucapan, nenek memberikannya pada hari.dimana seorang perempuan bernama Lastri berjuang. Meletakkan nyawa di atas altar takdir. Namun Tuhan menyayangi perempuan yang harusnya kupanggil ibu, dan mengundangnya pada jamuan makan malam. Mengandeng tangan Ibu mengajaknya menuju nirwana. Tangisku pun pecah ketika tak kutemukan setetes air susu pada sesap pertama. Lalu diam menjadi serenada panjang yang menemani usiaku.

Tak pernah kutahu bunyi hujan atau suara piring yang jatuh. Entah berdentum atau berdesing. Semua hanya sunyi yang bergerak. Suara nenekpun tak terdengar, aku hanya bisa membaca bibirnya yang bergerak. Kuikuti rimanya karena satu jawab saja  tak pernah bisa kulepas. Mengendap di hati dan tercekat di tenggorokan. Akulah gadis sunyi. Begitu orang-orang memberiku gelar kehormatan sembari tertawa lepas di padang resahku.

Lalu seorang pemuda datang dari kampung seberang. Tuhan mengirimkan hatinya untukku dalam sebuah pertemuan bersih desa, ketika senja berwarna merah saga. Tak jauh dari rumah pagelaran wayang mulai dihelat, nenek menyuruhku mengantar kopi untuk para sesepuh yang datang. semua orang satu desa datang memberi warna pada acara ini.

Aku terjebak perasaan malu, sambil  berjalan menunduk kupangkasi setiap sorot mata yang menatapku lekat juga memotong serangkaian lidah yang kasak kusuk mengunjing keburukan tanpa secuil kebaikan yang tersisa. Hingga aku tertumbuk pada dada bidang seorang pemuda, aku tergeragap. Reflek tanganku mengatup, tanpa berani melihat mata hitam yang mungkin memberi sorot bara. Seperti biasa tak kudengar suara nampan yang jatuh berderai atau suara gelas-gelas yang pecah.

Selintas lepas kulihat Bu Lestari terlihat marah, kubaca gerak bibirnya. Gadis bisu yang bodoh,makinya. Itu luka yang berulang. Kuterima saja cemeeh dan cemooh sambil memungut gelas yang berceceran.

Hal yang yang tak pernah kuduga adalah pemuda dengan dada bidang itu duduk dihadapanku. Tangannya dengan cekatan memunguti pecahan kaca yang terserak. Tanganku terhenti ketika pecahan kaca mengores jariku. Pemuda itu meraih tanganku secepat yang bisa ia berikan, aku tersentak tanpa penolakan.

Suara gamelan dan gerak  wayang pada kelir memberi genang kenang yang terlarut dalam desir-desir hangat yang Raya -nama pemuda itu- berikan sejak pertemuan itu. Meski kilat mata tak suka menjerembabkanku pada dasar palung sunyi yang paling sepi, hingga untuk keluar rumah saja aku tak berani.

Namun Raya selalu hadir di palung sunyi ini. Mengajakku bercanda, menyemai rasa dalam sepiku dan  dengan sabar mengajarkanku bahasa isyarat. Meski Raya tahu setajam apa belati yang keluar dari segelintir orang yang tidak suka atas apa yang sudah terajut di antara kami.

Langkah menjelang subuh mengaitkan ikat pada bayang Raya dalam lamunan, bertukar tangkap dengan lesat yang begitu cepat. Bergegas kulempar senyum yang paling masuk akal supaya dia tahu, bahwa rindu bermuara padanya, hasrat hanya bagian yang ingin kuretas satu-persatu dan tanpa malu.

Rinai hujan masih menghias langit  di penghujung musim dingin. Ketika tiba-tiba kau datang membawa kabar yang tak bisa kuejawantahkan dalam bentuk apapun juga.Kabar yang akan membawaku terbang selayak bidadari  berselendang bianglala. Bidadari tak bersayap. Kucium punggung tangan calon imam yang sebentar lagi menghalalkanku.

Bahagiaku berbanding lurus dengan luka yang sedikit mengering. Aku ragu Raya sanggup menahan  luapan cibir dan cemooh yang hadir di antara ibu dan sejumlah kerabat Raya.
Bukan hanya aku yang ragu, tetapi juga Nenek. Bergelayut tanya yang luar biasa dahsyat yang terlontar dari Nenek untuk Raya ketika suatu sore Raya mengutarakan maksudnya.

Raya meyakinkanku. Seakan memberi hembusan semilir sang bayu  yang  sejuk tetapi juga melenakan. Nenek menjadi was-was. Rasa kehilangan menyelimuti hatinya, kalau nanti aku menikah. Aku katakana pada Nenek dengan bahasa diamku. Kugenggam tangan keriputnya.Kuyakinkan meski hatiku sendiri tak yakin. Nenek memelukku, pelukan yang hangat, sehangat tatapan Raya untukku. Senja dengan merah saga masih setia temani langit. Begitu juga rasa ini.
Perempuan setengah baya datang dengan bara dan kilatan benci, memandangku dengan sinis. Seperti hendak merajamku hingga inti sel terdalam. Ia berteriak keras tetapi aku tidak mendengarnya. Aku membaca mulutnya yang bergerak menyebar busuk seperti kata-kata yang dilempar dan menampar harga diri Nenek. Perempuan itu ibu Raya.

Perempuan itu mengambil lembaran uang, diletakkan dengan marah di atas meja.
Aku tak sanggup berteriak, meski hatiku ingin. Darahku mendidih, kubanting lembaran kertas yang  telah menghinaku dan Nenek. Dengan isyarat tanganku, kusuruh perempuan setengah baya itu pergi.

Derai airmata bergulir tak terbendung, sesak segera menyergap diri. Nenek jatuh terduduk, kusambut dengan rinai yang kadung meluncur. Hatiku seperti meretas luka yang belum juga mengering. Sobek sampai pada ulu dada. Memburai kenangan bersama Raya.

Raya, mencintaimu harus kubayar mahal dengan luka goresan  pada hati Nenek dan hatiku.

 Akulah perempuan sunyi, yang menjadi dingin dan beku.



Raya
Raya terdiam.

Dalam pekat hati yang mengambang, seakan tak percaya tetapi sangat nyata. Kepedihan tentu mengiris sampai inti sel paling dalam , mencacahnya menjadi kepingan yang lembut tak beraturan. Itulah bayangan Raya tentang hati Sabda.

“Sabarlah Sabda,” desah Raya menungkas lepas antara dilema.

Bayangan perempuan sunyi muncul dalam angan Raya, senyum dari masa remajanya mengendap dalam rasa yang pernah Raya simpan untuk Sabda. Hingga waktu memisahkan senyum itu dari hati Raya dan saat bersih desa  membuat Raya merasakan letupan-letupan kecil dari hatinya. Perempuan sunyi dari masa remaja Raya.

Akhirnya Raya sering sekali bertandang ke rumah Sabda, mengajak senyum itu mengembang lebih lebar dalam tawa yang sunyi. Mengajari bahasa kata dan bahasa cinta untuk Sabda, semua telah disiapkan Raya dengan tanpa kegamangan beberapa tahun yang silam ketika ia harus pergi meninggalkan kampung halamannya, merantau menuntut ilmu.
Hingga ibu  menempatkan Raya pada pinggir tebing curam, memaksa memilih antara Sabda dan ibunya. Kebekuan ternyata telah menyelimuti hati ibu dengan segala keduniawaian yang ibu punya.

Raya menghembuskan nafas panjang memejamkan mata sekejap, berharap tak terjadi apa-apa pada Sabda. Berharap ketegaran dan kesabaran  Sabda, tentu berharap samudra maaf dari Sabda untuk dirinya dan wanita yang melahirkannya.

Pagi itu matahari tak mau bercanda di pelataran hari, awan yang mengabu bergelayut. Sama seperti hati Raya. Mencoba mengumpulkan keyakinan yang terserak.
“Bagaimana kabarmu, Sabda?” tanya  Raya pada angin sembari merapal sebuah nama yang terlanjur jatuh di palung hatinya.

Secangkir kopi tanpa gula menemani laju perahu yang ingin menepi pada desir hati Sabda, merasakan sakit hati dan rinai gerimis atau hujan deras yang menemani hari Sabda.

Berbekal keyakinan tanpa kegamangan, Raya menyahut kunci mobil yang berada tak jauh darinya. Raya mencium punggung tangan ibunya, tanpa sepatah kata Raya berlalu.  Tak begitu di dengar pertanyaan ibunya, Raya hanya menjawab sebentar bu. Entah sorot mata curiga atau apapun itu, Raya segera berlalu.

Raya membawa sebakul resah, resah pada kemungkinan  reaksi yang akan diberikan  Sabda atas kedatangannya. Raya menatap keluar jendela, alam begitu mendung sekaligus indah. Seperti wajah Sabda.

Raya mencoba menuntaskan kata dengan menepis ragu dan kebencian Sabda atas dirinya dan keluarganya. Mungkin yang entah.

Sekali lagi.

Pintu rumah itu tertutup rapat, jendela pun sama. Persis ketika pertama Raya datang menautkan hati pada Sabda. Raya membuka jendela rumah seperti dulu ia membuka hati Sabda yang sekarang entah.

Raya sadar sepenuhnya sebuah penolakan mungkin saja digoreskan pada langkah pertama ketika memasuki selasar rumah Sabda. Tangan Raya berusaha untuk tidak menghadirkan ragu ketika mengetuk rumah Sabda. Harapan Raya juga ia mengetuk hati Sabda.

Sejenak kemudian terdengar langkah dari dalam rumah. Pintu terbuka. Tampak nenek Sabda tercengang mendapati Raya berdiri di depan pintu.

Raya menanyakan Sabda sambil matanya terus menelisik ke dalam rumah. Nenek mempersilakan Raya masuk dan duduk. Bagi Nenek, harapan terbesar Sabda adalah Raya. Pemuda yang bertanggungjawab atas luka bidadari cantik yang ia punya, sekaligus harapan ketika usia tak lagi terbit dari timur untuk menemani Sabda. Sabda punya seseorang yang menyayanginya, maka hal itulah yang diangankan Nenek  ketika undangan jamuan makan Tuhan telah sampai. Nenek bisa melenggang  tenang  meninggalkan Sabda, saat  tangan Tuhan mengajaknya berdansa.

Sabda memandang Raya seakan tak percaya.

Antara rindu dan kecewa menyergap palung hati yang paling. Perasaan Sabda teraduk-aduk. Pagi jelang siang pun masih dalam pelukan melodrama sunyi, sesunyi pertemuan dua insan yang lebur dalam tembang asmaradana.

Baik Raya maupun Sabda terdiam, terpaku dalam desir yang tak dapat dipahami.

Bahkan kalau nanti senja paling saga pun muncul takkan mampu menahan kelopak mata Sabda untu merinai dalam hujan. Raya menyambut tangan Sabda secepat itulah tubuh Sabda berada dalam pelukan Raya. Pada dada bidang  itulah Sabda menumpahkan hati dan harapan akan sebuah kehadiran.

Raya merasakan lambaian anak rambut Sabda di antara jemari tangannya. Jemari Raya bergetar ketika mengelus rambut Sabda dan meraih pinggang gadis pujaan agar  semakin mendekat. Detak detik jantung Raya berpusat pada bidadari cantik yang dipeluknya erat.  Perempuan sunyi yang membuatnya riuh.

Hujan turun sangat deras, seakan menyambut pertemuan  Sabda dan Raya. Tergengam dalam hangat rasa yang teraduk dalam sedih dan bahagia.






Sabda

Kubiarkan saja Raya merengkuh lembut tubuhku. Menarikku masuk ke dalam lapisan hangat selimut, mendekapnya lama. Perlahan dan tenang, Raya menyentuh lembut daguku, memisahkan kedua bibirnya, untuk kemudian menciumku dengan tenang. 

Raya tidak lagi gugup seperti beberapa jam yang lalu ketika Raya memutuskan untuk mengajakku ke kamar ini. Raya seakan-akan telah bermetamorfosis dengan sempurna.

Tak pernah aku membiarkan hal itu terjadi sebelumnya, tetapi aku biarkan bibirku berada di sana. Membiarkan diriku  manja dalam pengalaman yang tak pernah kami jamah. Mengetahui rasa jutaan saraf kecil yang memercikkan aliran medan magnet yang bertautan dengan deru nafas dan detak jantung ketika dua bibir bertemu.

Kami menikmati setiap detik. Sama-sama terbawa kenangan. Malam ini penuh nikmat yang sesat. Kunci kamar hotelpun tergeletak begitu saja. Di luar masih hujan.
Entah apa yang merasuki kami, kami memutuskan untuk melakukan dosa berdasar pembenaran yang kami buat sendiri.

Setiap saat pergulatan desah dan peluh kami lakukan, sampai pada titik dimana benih cinta kami tumbuh dalam rahimku.

Cemas dan resah mengelayut dalam remang kepastian yang nyata. Kukatakan kabar yang harus kuberi makna bahagia sekaligus sedih kepada Raya. Raya bahagia sekaligus gundah, di antara dua pilihan. Pilihan di mana aku pun harus memilih pilihan yang entah.

Dua bulan berlalu, semburat kebahagiaan sekaligus kesedihan mendera hati kami yang paling palung sedang janin ini terus tumbuh. Aku masih menunggu Raya mengatakan bahwa ia akan menikahiku begitu juga Raya sedang menunggu tetesan embun pagi mampu melelehkan beku hati ibunya.

Memohon restu sang ibu.

****
Siang itu panas tak berkompromi dengan siapapun, begitu juga denganku. Ia menyengat kulit, meninggalkan aroma matahari yang khas pada rambut yang lepas tergerai.

Segera saja kukemas pakaian yang masih tersangkut pada tali-tali jemuran. Dibalik tali-tali jemuran itu mereka  melihat, berbincang-bincang tentang perut yang semakin lama semakin buncit, memperhatikan setiap tingkah laku dan  terkadang kelakar mereka menjadi lebih sakit jika tak terdengar. Aku harus segera berlalu, menghindari tatapan sinis dari para tetangga.

Mobil BMW putih berhenti di pekarangan rumah, ketika aku meletakkan beberapa pakaian di atas dipan. Aku melonggok keluar. Aku terkejut. Ibu Raya.

Tanpa mengetuk pintu ia pun masuk dan sekarang sudah berada di depanku. Bertolak pinggang. Marah.  Mengeluarkan cacian, melempar uang dan satu hal yang membuatku harus memeras airmata lebih dalam adalah ia ingin aku menggugurkan bayi dalam kandunganku.

Airmata berderai tapi aku takkan melakukan apa yang diminta Ibu Raya. Sorot mata tak suka ia kibas dimukaku. Aku menentangnya. Sebuah pukulan hendak mendarat, namun tangan Raya menahan tangan ibunya. Raya. Aku tahu kamu pasti datang.
Nenek jatuh bersimpuh di kaki ibu Raya memohon agar ia tidak menyakitiku.

“ Ibu, sebeku apa hati Ibu? Aku memberitahu Ibu soal kehamilan Sabda bukan untuk menyakiti Ibu dari calon anakku Bu. Darahku mengalir pada janin yang dikandung Sabda. Darah Ibu juga. Aku meminta Ibu merestui kami dalam ikrar penikahan, Bu. Agar meredam segala fitnah dan hujaman kata yang tertuju untuk Sabda,” Raya memandangku, memberi kekuatan padaku untuk bertahan, “aku mencintai Sabda, Bu. Cobalah Ibu mengerti!.”

Ibu Raya terdiam.

“Baiklah Raya, Ibu merestui pernikahan kalian.”

Raya tersenyum, mengucap berkali-kali terima kasih dan memeluk ibunya. Nenek pun merasa bahagia.

Aku hanya tersenyum, mencium punggung tangan Ibu Raya.

***

Pernikahan kami pun berlangsung, Ibu Raya memberikan sebuah amplop padaku. Itu untukmu, jangan beritahu siapapun termasuk Raya. Begitu gerak bibir Ibu Raya yang aku baca.

Aku membuka lembaran surat dari Ibu Raya di dalam kamar mandi ketika pergantian baju untuk pengantin.

“Baca baik-baik, setelah bayimu lahir. Gugat cerai Raya. Aku tak pernah memberimu restu untuk jadi istri Raya dan kalau kamu masih bersikeras ingin menjadi istri Raya, maka hari-harimu akan seperti di neraka. Nenekmu, kamu dan anakmu. Camkan itu!”

Aku menahan tangisku, meski satu bulir telah jatuh.

Pesta ini meriah, riuh oleh tamu undangan. Senyum Raya menghias. Begitu pula tamu undangan yang datang.

Namun tidak denganku, semua serasa sunyi dan hambar. Ini hanya sandiwara. Senyum dan tawa yang palsu menghias di bibir Ibu Raya. Senyum dan tawa yang sama seperti milikku juga.

Palsu.

Sunyi akan tetap sunyi, seriuh apapun keadaannya.















3 Komentar

  1. Kayanya ada titik di yang seharusnya tidak ada pada kalimat majemuk di paragraf kedua.

    Terlepas betapa syahdunya alunan melodi antar kata yang tercipta, tapi rasanya ini masih belum klimaks. Dengan kata lain, konfliknya masih belum kelar, tapi udah usai.

    Demikian kiranya...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama