Gadis itu melepas napas. Ada kabut dalam wajahnya. Juga badai dalam benak sang pemuda. Lantas keduanya tersenyum samar. Maka, di teras, di bawah hujan gerimis yang menderas, sepasang insan masuk ke dalam kelas lewat pintu yang berbeda.
****
Cerpen ini diterima dan dipublikasikan pada tanggal 29 Juli
2017. Cerpen kedua saya, di media yang sama. Agak mengejutkan sebenarnya,
karena saya baru tahu cerpen ini diterima di bulan Desember. Catat ya, di BULAN
DESEMBER! Soalnya selama Juli saya sibuk dengan UAS. Ahk! Kalau sudah ketemu
ujian, bawaannya lupa pada dunia dan akherat.
Oke, Earphone Kiri yang Menggantung. Secara garis besar
cerpen ini menceritakan sepasang pemuda-pemudi yang kebingungan dengan arah
hubungan mereka selama ini. Si cowok, tipe-tipe yang suka manjain dan rela
ngelakuin apa pun demi melihat senyum gadisnya. Sementara si cewek, adalah
perempuan independen yang justru merasa risih saat dibeliin sesuatu.
Tapi mereka tetap saling menyayangi. Meski ada satu
perbedaan besar, yang jelas tidak bisa mereka seberangi.
Cuap-cuapnya:
Konon, penulis ada untuk menyuarakan mayoritas bungkam di
sekitarnya. Penulis itu menangkap, menjaring kegelisahan-kegelisahan yang ikut
mengetuk daya kreatifitasnya. Penulis itu merasa—harus—menulis untuk
memberitahukan, begini lho kondisi kita sekarang. Dengan atau tanpa unsur
dramatis. Kepada para pembaca, yang sekiranya akan ikut tergerak setelah
membaca tulisan si penulis.
Saya sempat ditawari teman-teman sekelas untuk memakai nama
mereka membuat surat terbuka. Untuk para dosen dan institut, atas kelalaian
pengelola dalam menata jadwal dan ketiadaan libur selama dua semester berturut-turut.
Teman sekelas ikhlas dicatut, bahkan mereka mau melindungi saya agar suara
mereka sampai ke pihak teratas institut.
Tapi ... alih-alih jadi perwakilan jurusan, saya malah
menerima tawaran seorang teman yang ingin kisah cintanya diabadikan.
Iya, semurah itu harga diri saya sebagai penulis.
Tapi saya punya pembelaan. Kalau saya membuat surat terbuka, nama saya bisa diingat oleh para dosen sebagai anak yang terlalu kritis. Dan saya tahu, kritis di rumah sakit berarti antara ada dan tiada. Entah napasnya tinggal sepuluh per menit, atau detak jantungnya anjlok di bawah 40/menit.
Tapi saya punya pembelaan. Kalau saya membuat surat terbuka, nama saya bisa diingat oleh para dosen sebagai anak yang terlalu kritis. Dan saya tahu, kritis di rumah sakit berarti antara ada dan tiada. Entah napasnya tinggal sepuluh per menit, atau detak jantungnya anjlok di bawah 40/menit.
Dan lagi, daripada membeberkan fakta di lapangan. Saya lebih tertantang menuliskan kisah cinta teman saya yang rumit. Mereka saling menyayangi,
tapi tidak ingin terlalu memiliki. Mereka bisa cemburu, tapi di satu sisi tidak
ingin juga terlalu serius. Mereka hanya ingin hubungan yang berjalan
sebagaimana biasanya. Dan begitulah jadinya: cerpen ini lahir. Dengan sedikit bumbu di sana-sini.
Teman saya kegirangan membacanya. Tapi, setelah itu udah.
Coba bikin surat terbuka, mungkin nama saya sudah masuk
daftar hitam sekarang.
Baiklah, ini cuplikan cerpen tersebut, selamat membaca:
EARPHONE KIRI YANG MENGGANTUNG
Hari ini hari Sabtu.
Malam natal. Hujan. Dingin angin menelusup lewat kisi-kisi kamar. Lampu menyala
dalam cahaya yang konstan, di bawahnya kipas berputar-putar lambat seolah tak
memiliki tenaga. Menunggu dimatikan, tetapi manusia yang berbaring di bawahnya
tak peduli dan membiarkan pemborosan listrik tersebut terjadi.
Sekarang bulan
kesebelas. Satu bulan lagi melewati Januari, ia resmi menjalin hubungan satu
tahun dengan seseorang. Pemuda tampan dengan senyum bersinar dan mata berbinar.
Semua tahu, ia gadis yang beruntung karena memilikinya. Namun sampai sebelas
kali bulan purnama pun, ia tetap tak mengerti kenapa menjalin cinta dengannya.
“Maukah kau menjadi
pacarku?” tanyanya. Kaku dan gugup. Di teras, saat hujan deras, dan semua orang
memilih berlindung dalam kehangatan ruang kelas. Gadis dan pemuda itu berdiri
saling berhadap-hadapan dalam kondisi berbeda: yang satu sedang berharap, dan
yang satu lagi sedang berpikir entah kemana.
Sudah bukan rahasia
umum lagi keduanya memang dekat. Setiap kerja kelompok, gadis dan pemuda itu
selalu bersama. Bahkan tempat duduk mereka bersebelahan. Seperti ekor. Dimana
gadis itu berada, pemuda itu pasti ada di sana. Begitu juga sebaliknya, di mana
pemuda itu berdiri, pasti gadis itu berada dalam satu lingkaran di dekatnya.
Sang gadis sudah
menyangka akan terjadi hal seperti ini. Tetapi itu cuma di angan-angan, bukan
kenyataan. Di hadapannya, dalam sebentuk laki-laki yang menyatakan cinta dengan
malu-malu. Mengajaknya berpacaran.
Tanpa berpikir,
didasari refleks yang kelak ia sesalkan seumur hidup, gadis itu mengangguk
ragu. Keesokan harinya, mereka tetap bertingkah sama seperti biasa. Bedanya,
mereka kini adalah sepasang kekasih.
Untuk membaca lebih lanjut, bisa klik di link GoGirl
"Iya, semurah itu harga diri saya sebagai penulis."
BalasHapusNggak semurah itu kok <--- tidak memberi kesan yang lebih baik malah ^^
Jadi harga diri saya, kalau digadaikan cuma dapat beras sepuluh kilo?! //parah-parahin
HapusBtw, makasih atas kunjungannya yak XD
Senang dikau muncul