Gadis Pirang

GADIS PIRANG
Shin Elqi



"TIDAK ada perempuan yang buruk rupa, hanya ada perempuan yang malas untuk mempercantik dirinya," ujar kapten kapal ini, suamiku tercinta yang mati satu bulan kemudian.
Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. Menghisap cerutunya khitmat. Dadanya yang bidang berkeringat, entah keringatnya sendiri atau ada keringatku di sana. Sulit menentukan ketika cairan itu sama warnanya.
"Tetapi ada perempuan yang terlahir cantik, juga ada yang terlahir tidak cantik," kataku kemudian. Aku menarik selimut agar merapat ke leher, menutup tubuh telanjangku yang sudah mulai mendingin.
"Hal itu tidak bisa dibantah. Namun, permata kelas satu yang tak pernah diasah akan kalah oleh permata sederhana yang telah diasah sempurna, meski pada awalnya permata itu sama-sama sebongkah batu putih."
Tetapi, sebongkah batu putih itu akan tetap sama tak bernilainya, kataku dalam hati. Aku tidak ingin mengungkapkan pada suamiku tentang peristiwa masa silam, yang turut andil dalam hubungan kami.
Bagaimana pun, aku merasa tidak kalah cantik dengan perempuan pirang yang merebut cinta pertamaku itu. Kami memiliki tubuh yang sama-sama ramping, buah dada sedang, bokong melengkung. Bedanya, ia lahir di keluarga kaya, sehingga punya uang dan fasilitas untuk menyempurnakan apa yang dianugerahkan padanya. Sementara aku, jangankan merawat diri, mencari makan pun harus bersusah payah setiap hari.
"Bagaimana kalungnya, kau menyukainya?" tanya suamiku tiba-tiba.
Ia meletakkan cerutu di meja kecil, lalu menarik selimutku ke bawah. Aku tahan agar buah dadaku tidak kelihatan, tetapi tangan suamiku perlahan mengangkat pertahanan lemahku itu, membuat tepi selimut terus turun sampai perut. Kemudian matanya menatap lekat kalung berbandul batu merah di tengahnya, tepat di atas belahan payudara.
Aku tahu arti dari mata yang bersinar itu. Ia ingin putaran kedua, sementara bel pertanda hari telah siang berdentang di gereja dekat pelabuhan. Ketika mulut suamiku itu melahap puting sebelah kiri, aku hanya berharap kedua anak gadis kami tidak segera pulang.

***

MALAM hari sebelum suamiku pergi belayar lagi—dan tak kembali kemudian, kami bercinta lagi seperti malam pertama pengantin. Tidak terlalu tepat jika mengatakannya sebagai malam pertama kami, karena saat itu ia begitu terburu-buru, hingga yang kudapat hanya rasa sakit.
Bagaimana pun, pemuda berumur dua puluh tahun yang tidak pernah bercinta sebelumnya, menemukan gadis enam belas tahun di kamarnya sendiri yang sudah berstatus istri sah, hal semacam itu pasti terjadi.
Sementara saat itu, aku menikahinya bukan karena cinta, tetapi sakit hati. Lelaki yang kuimpikan mejadi suamiku, yang pernah mencium bibirku tiga kali, dan meremas buah dadaku sekali di kebun anggur pamannya, dikabarkan bertunangan dengan gadis berambut pirang setelah ia berjanji untuk menjadikanku istri.
"Ada larangan untuk tidak bercinta dengan wanita lain, kecuali istri sahmu," kata suamiku saat itu, ketika sudah menuntaskan semua berahi yang ia tahan selama ini, sementara diriku bertahan untuk tidak menangis, meski perkelaminanku perih teramat sangat. "Jika kami melakukannya, maka laut akan menandai kami sebagai pendosa, yang kelak akan ditelan olehnya."
Awalnya, aku tidak paham kenapa ia menceritakan perihal larangan bagi pelaut seperti dirinya. Saat itu, ia masih berstatus kelasi satu. Belum menjadi pemimpin. Namun, beberapa hari kemudian aku tahu maksudnya. Cerita itu sebagai afirmasi dari kesetian yang ia punya. Apalagi ketika ia sampai pada cerita saat dirinya berumur delapan belas tahun. Ia bersama temannya ikut salah satu kapal dan berlayar ke sebuah tempat yang terkenal dengan perempuan-perempuan cantiknya. Temannya jatuh cinta dengan seorang perempuan muda yang ditinggal mati suaminya karena perang. Sebelum mereka berangkat untuk pulang, temannya dan janda itu bercinta di lambung kapal pada tengah malam.
"Penisnya tidak bisa dicabut," katanya, dengan kengerian yang hampir menyerupai sebuah kematian. "Pagi harinnya, kami menemukan mereka sudah mati dalam keadaan memalukan. Sejak saat itu, aku benar-benar tidak ingin bercinta dengan perempuan lain selain istriku sendiri. Seperti ayahku, yang selalu kembali dari setiap pelayaran yang ia ikuti."
Dan begitulah suamiku. Setiap pelayaran yang ia ikuti, selalu kembali dengan selamat. Pada pelayarannya yang kesekian, satu tahun setelah pernikahan kami, ia kembali dengan buku bergambar cabul. Ia ingin mempraktekan semua yang berada di situ denganku. Awalnya aku enggan, tetapi beberapa posisi bercinta dalam buku tersebut membuatku melayang hingga lupa segala hal. Kami hampir tidak pernah meninggalkan ranjang selama seminggu penuh, dan perbuatan kami itu membuahkan hasil. Aku hamil anak pertama.
Ketika anak itu lahir, aku hampir tidak mau mengakui bayi itu adalah anakku. Tidak ada wajahku di sana meski lahir tanpa penis, kecuali hidungnya yang mancung. Matanya mirip ayahnya, bermata lebar dan cekung, dengan alis terlalu tipis. Bentuk wajahnya aku tidak tahu berasal dari mana, karena wajahku sedikit bulat, sementara suamiku kotak. Bentuk wajah anak itu terlalu elips. Lebih mirip lobak daripada telur. Dan bibir itu, tipis sekali. Kelak ketika dewasa, ia lebih tinggi daripada diriku, dan warna bibirnya serupa kulit wajahnya. Ia akan terlihat tidak memilik bibir jika tidak menggunakan perona merah di bagian tersebut.
Pada pelayaran yang kesekian, suamiku kembali pulang dengan selamat, meski tidak sempurna. Tangannya buntung karena berusaha mempertahankan diri dari bajak laut. Bukan hanya anggota tubuhnya saja yang hilang, tetapi kesehatannya. Ia tidak seprima dahulu, kerjanya hanya bisa tiduran di atas kasur sambil membaca buku, atau duduk di teras. Seperti kakek tua yang menunggu kematian, tetapi ada satu bagian dari dirinya yang masih seperti dulu.
Penisnya selalu menunjuk ke langit setiap malam, dengan urat-urat menonjol, dan kulit kemerahan yang mencirikan betapa perkasanya senjata itu. Mungkin hanya satu hal tersebut yang membuatnya lebih unggul dari cinta pertamaku. Juga otot-otot yang dibentuk dari kerja kerasnya. Meski wajahnya tidak terlalu tampan, kulitnya kasar, dan mulutnya berbau bir murahan, tetapi kemampuannya di atas ranjang tidak bisa aku ragukan.
Setiap malam, aku harus berjongkok di atasnya dan melakukan senam kaki. Kadang, ketika sangat lelah, aku hanya bergerak ke depan dan belakang. Suamiku tidak pernah mau tidur sebelum aku melakukan hal itu, dan dari perbuatan kami itu lahir anak kedua kami.
Anak itu memiliki bobot di atas rata-rata bayi yang baru lahir. Aku sudah tahu anak tersebut akan gemuk ketika dewasa, dan lebih pendek daripada diriku. Wajahnya benar-benar mewarisi seluruh gen ayahnya, kecuali bentuk wajahnya yang terlalu bulat.
Bagaimana pun aku berusaha untuk mengubah kedua anakku agar lebih cantik daripada saat mereka lahir, tapi tetap tidak berhasil. Mereka terlalu malas untuk mempercantik diri.
Si sulung lebih suka malas-malasan, bahkan seluruh harinya hanya diisi tidur dan tidur. Ia bahkan malas untuk makan. Berbeda dengan si bungsu yang kerjanya hanya makan, membuat tubuhnya tambah bengkak setiap hari. Ketika ayah mereka meninggal, aku sudah menyerah untuk membuat mereka lebih cantik dari sebelumnya.

***

SATU tahun setelah kematian suamiku, aku bertemu dengan cinta pertamaku. Ia masih sama seperti masa silam. Tampan. Kecuali wajah itu sudah tampak lebih tua dengan keriput samar, dan uban yang muncul satu-dua di rambutnya. Kami sama-sama kehilangan pasangan hidup.
Istrinya—wanita pirang yang telah merebut cinta pertamaku—meninggal ketika melahirkan Sinde. Anak pertama mereka. Suatu kebetulan yang tak terduga, dan cukup mudah untuk kembali membuatnya jatuh cinta padaku. Aku tidak seperti gadis ingusan masa silam. Kini tubuh dan wajahku telah disentuh ribuan kali oleh perawatan. Satu bulan setelah pertemuan itu, kami menikah. Ia membawaku ke rumahnya dan bertemu anaknya. Sinde.
Dari awal bertemu dengan gadis itu, aku tidak menyukainya. Ia memiliki wajah cantik dengan tubuh menawan, serta rambut pirang warisan ibunya. Ia bahkan lebih memesona daripada perempuan yang telah mati itu. Meski aku tidak perlu takut ia akan mengambil cinta pertamaku lagi, tetapi aku benar-benar tidak bisa menerima hidup satu atap dengan gadis tersebut.
Kedua anakku pun merasakan hal yang sama. Mata mereka selalu manatap iri pada Sinde, dan mengutuk gadis itu setiap kali ada kesempatan. Mereka berdua tanpak lebih menyedihkan daripada diriku dulu. Dua gadis jelek yang hanya bisa membeci gadis cantik, tanpa berusaha mempercantik dirinya sendiri. Pemalas-pemalas bodoh yang memelihara rasa dengki, tanpa berusaha mengintropeksi diri.
Saat aku menyarankan mereka kembali melakukan perawatan, mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan rela melakukan bagian yang menyakitkan juga, tetapi semua itu sudah terlambat. Umur mereka sudah lebih dari lima belas tahun. Pertumbuhannya sudah mencapai titik jenuh, hampir selesai, tidak ada hal yang bisa diubah secara signifikan. Berbeda dengan Sinde yang sudah melakukan hal itu sedari kecil.
Sementara diriku punya masalah lain. Suami keduaku tidak bertahan lama di atas ranjang, selain itu penisnya lebih kecil dari suami pertamaku. Ia bahkan tidak pernah mencoba melahap buah dadaku. Teknik bercintanya sangat menyedihkan. Meski begitu, ia selalu bilang sangat puas.
"Lebih dari istri pertamaku," katanya pada suatu malam setelah percintaan yang sikat.
"Lebih dalam segi apa?"
"Dari segala segi."
Omong kosong. Bagaimana mungkin aku yang tak punya kesempatan diasah sedari kecil ini, bisa mengalahkan istri pertamanya yang terasah sempurna itu. Ia mengatakan hal tersebut karena ingin menghiburku, atau dirinya sendiri yang menyedihkan. Satu tahun kemudian, ia mati karena radang paru-paru. Semua harta yang ia punya jatuh ke tanganku, termasuk hak asuh Sinde.
Akan kujadikan gadis tersebut sejelek diriku dulu, yang bekerja setiap hari untuk mendapatkan makanan.
***

UNDANGAN pesta itu datang pukul sembilan pagi. Diantar langsung oleh salah satu pengawal raja. Isinya: sang Pangeran hendak mengadakan pesta dansa nanti malam, dan ia mengundang semua gadis yang belum menikah di desa, beserta wali mereka. Isyarat tidak langsung bahwa sang Pangeran hendak mencari seorang istri.
Kedua anakku yang sudah menyerah dari perawatan mereka—karena tidak memperlihatkan dampak siginifikan pada wajah dan tubuhnya—sangat senang. Lantas membayangkan akan menjadi seorang puteri kerajaan, tanpa melihat diri mereka sendiri yang tidak memiliki sisi menarik sama sekali. Satunya seperti tenggkorak berjalan, satunya lagi hanya kantung lemak.
Sementara Sinde makin terlihat menawan di umurnya yang ketujuh belas. Entah kenapa ia bisa seperti itu, padahal aku tidak pernah memberinya uang dan kesempatan untuk merawat diri. Aku memberinya tugas sebagai seorang pembantu, lebih parah dari diriku dulu. Tetapi meski bajunya lusuh, wajahnya kotor, ia tetap terlihat cantik. Lebih cantik dari dirinya yang berstatus anak perempuan saudagar kaya beberapa tahun lalu. Aku benar-benar tidak mengerti dirinya.
Ia datang dengan gerakan ragu-ragu ke depanku, dan bertanya apakah dirinya diperbolehkan untuk ikut pesta itu juga. Kedua saudara tirinya yang sempat bertengkar tentang siapa yang akan dipilih pangeran nanti dari salah satu dari mereka, segera melayangkan penolakan. Bahkan mengatai Sinde gembel yang akan mempermalukan keluarganya sendiri jika berani datang ke pesta tersebut.
Namun, Sinde masih belum menyerah. Saat kami sudah naik ke dalam kereta kuda untuk membeli gaun pesta, ia masih sempat bertanya apakah ia diperbolehkan ikut pesta pangeran di istana. Belum sempat aku mengatakan penolakan, anak-anakku telah menyemburnya dengan sumpah serapah. Dan seperti yang sudah-sudah, aku melihat api dendam di mata yang bening itu. Api yang akan berkobar dan menunggu saatnya untuk membakar.
Pertama kali aku melihat api itu ketika aku menamparnya pada suatu pagi, ketika kami hendak pergi ke sebuah perlombaan kuda. Ia dengan tidak tahu dirinya tampil cantik, dengan gaun berwarna ungu yang menawan. Sejak saat itu aku punya alasan untuk menyita perlengkapan kecantikannya, juga gaun-gaun indah yang ia punya.
Aku tidak melihat api itu ketika menyuruhnya bekerja sebagai pembantu, dan pekerjaannya sangat rapi seperti telah melakukannya bertahun-tahun. Pada suatu hari aku sempat bertanya tentang hal tersebut, dan ia bilang memang sudah terbiasa dengan pekerjaan itu sejak berumur sepuluh tahun, saat usaha ayahnya mengalami kemunduran, dan tidak mampu lagi membayar seorang pembantu pun.
Api baru terlihat ketika saudari tirinya, dan juga aku memperlakukannya bukan sebagai manusia, tetapi seperti seekor keledai. Beberapa kali aku menamparnya karena kesalahan kecil yang pada kenyataannya aku ingin menyakiti wajah cantiknya itu.
Beberapa kali aku pun menarik rambut pirangnya yang menawan, sambil membayangkan bahwa dirinya adalah perempuan yang telah merebut cinta pertamaku. Aku benar-benar ingin membuatnya menderita, sebagai mana aku ingin ibunya menderita di surga sana. Anehnya, setiap penderitaan itu membuat kadar kecantikan di wajahnya semakin kental.
Sepanjang perjalanan, hatiku merasa tidak nyaman. Api di mata Sinde tadi lebih besar dari hari-hari sebelumnya. Seakan sudah waktunya untuk membakar kami semua.
Sampai di toko pakaian, aku tidak tertarik melerai dua anakku yang merebutkan gaun berwarna merah muda. Aku malah lebih memperhatikan seorang gadis muda yang bekerja di toko itu sebagai pesuruh. Ia memiliki rambut hitam panjang dan mata indah. Jika diperhatikan lebih seksama, wajahnya cantik, meski pakaiannya buruk. Aku taksir umurnya masih berada di kisaran empat belas tahun, dari keluarga tidak mampu, dan tidak pernah merawat dirinya. Tetapi ia benar-benar terlihat cantik di mataku.
Pertikaian dua anakku dihentikan oleh pemiliki toko yang berpengalaman menangani hal semacam itu. Ia memberikan gaun merah itu pada anak sulungku, karena tubuhnya lebih ramping, meski gaun itu harus diperkecil lagi agar pas di badan. Sementara anak bungsuku mendapatkan gaun kuning dengan ukuran yang lebih besar, meski kemudian harus dijahit kembali dengan menambahkan selembar kain agar muat di tubuhnya.
Aku sendiri tidak mau ambil pusing dan memilih gaun hitam yang berada di pojok ruangan. Gaun itu memperlihatkan kesan seorang nyonya yang elegan ketika sudah menempel di tubuhku. Di salah satu sudut yang lain, ada gaun berwarna biru laut. Gaun itu juga menawan, tetapi potongannya untuk anak muda, bukan perempuan berumur seperti diriku.
Ketika menunggu kedua pakaian yang masih disesuaikan dengan bentuk tubuh kedua anakku, aku menyempatkan diri untuk berbincang dengan gadis pelayan tadi. Ia telah bekerja di toko itu satu tahun belakangan. Sebelum itu ia bekerja sebagai pencuci piring di tempat makan. Anak yang rajin, tidak seperti dua anakku yang pemalas. Ia lebih mirip dengan Sinde. Mirip dengan diriku di masa silam. Kami bertiga adalah perempuan-perempuan yang rajin.

***

IA berada di sudut sebelah kiri dari gerbang utama. Dekat dengan pohon yang mati, tetapi masih tetap berdiri di tempatnya. Di nisan batu yang warnanya sudah memudar itu, ada sebuah nama yang tidak ingin kuingat. Nama perempuan berambut pirang yang kecantikannya sudah habis dimakan belatung, juga tubuh yang ia rawat sebelum lubang selangkanganya mengeluarkan darah. Ia ibu Sinde yang sekarang hanya tinggal tengkorak di bawah tanah. Betapa tak abadinya kecantikan itu.
Aku mengeluarkan gaun berwarna biru laut dari bungkusnya, kemudian menggantungnya di cabang pohon mati. Tidak lupa, aku meletakkan sepatu kaca di bawahnya. Sebuah persembahan terakhir, permintaan maaf secara tidak langsung, mungkin. Lagi pula, aku masih membenci wanita pirang itu. Aku tidak ingin menyapa atau sekedar menginjak makamnya. Kebencianku tidak berkurang sedikit pun meski telah sadar akan pemahamanku yang salah selama ini.
Ketika aku hendak pergi dari situ, burung merpati melintas di atas kepalaku, lalu hinggap dekat dahan tempat gaun itu tergantung. Mata kami bertemu beberapa saat, sebelum ia mengeluarkan suara.
"Kenapa Nyonya menggantung gaun indah tersebut di tempat yang seperti ini?"
"Karena seorang gadis akan datang ke sini sebelum petang. Menangis di makam ibunya, dan aku ingin ia menggunakan gaun itu untuk pergi ke pesta."
"Kenapa Nyonya tidak langsung saja memberikannya pada gadis itu?"
"Karena tidak akan menarik jika aku memberikannya langsung."
Merpati itu diam, dan aku merasa pembicaraan kami telah berakhir. Aku berbalik dan mulai melangkah pulang. Kemudian berhenti saat aku mendengar merpati tersebut bertanya lagi.
"Kenapa Nyonya melakukannya?"
Pertanyaan yang membuat sudut bibirku tertarik ke atas, kemudian mengingat kembali kalimat yang pernah diucapkan suami pertamaku. Kalimat yang kurang tepat, karena orang yang dapat memahami sepenuhnya seorang perempuan adalah perempuan. Bukan seorang lelaki.
"Karena aku tahu, di dunia ini tidak ada perempuan buruk rupa, yang ada hanya perempuan malas."



16-Nov-2016

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama