Akar Bambu


Kabarnya sejak dulu Mbah Sutini ingin sekali mengukir wajah sedih di setiap buah tangannya. Namun jemarinya tak pernah mau berkompromi dengan perasaan Mbah Sutini. Sepuluh jarinya bersepakat memilih memahatkan senyum yang tak pernah memudar seperti di wajah keriput dan bergelambir Mbah Sutini. Orang-orang bilang tak ada yang pernah menjumpai Mbah Sutini tanpa senyuman. Saya pun demikian. Tapi saya tak percaya ada orang yang benar-benar tersenyum bahagia di dunia ini. Yang saya tahu, senyum yang sering diumbar hanya satu cara menyembunyikan kenestapaan. Dan benar, Mbah Sutini mencoba menceritakannya kali ini.

Saya masih menunggu Mbah Sutini menyelesaikan pahatannya meski candik ala sudah memerahkan langit yang menumpahkan hujan deras sejak zuhur. Biasanya Mbah Sutini merampungkan segala pekerjaannya sebelum candik ala datang, tetapi saya tahu ada yang berbeda sekarang. Setengah jam sudah dia termangu menatap akar bambu yang sudah berbentuk asbak kepala bayi dengan tetap memegang tatah dan palunya. Hanya satu yang kurang, tak ada bibir di sana. Hasil karyanya basah di beberapa titik. Itu air mata Mbah Sutini, jatuh tepat di bagian yang seharusnya terukir lekuk-lekuk bibir.

“Dari mana kamu dapat akar bambu ini, Le?”

“Ini bambu apus sebelah rumah, Mbah. Saya tebang semua. Akarnya saya angkat sekalian.”

“Rumpun bambu dekat turunan kali itu?”

“Iya, Mbah. Istri saya takut kalau malam. Katanya sering dengar suara bayi dan bayangan tangan yang besar sekali. Makanya saya potong saja.”

“Istrimu hamil tua. Mungkin dia sudah terbayang-bayang suara tangis bayi. Bayangan tangan itu paling cuma bayangan bambu-bambu itu, Le. Di sana kan ada bambu bercabang lima. Kenapa harus takut? Kenapa mesti ditebang? Sayang, Le, padahal rumpun bambu itu bisa melindungi kamu dari musibah.”

 “Ah, saya tak percaya takhayul, Mbah.”

“Siapa yang bilang takhayul? Mbah hanya percaya bambu itu melindungi kita dari musibah.”

Mbah Sutini meletakkan tatah dan palunya lantas mengangkat asbak dengan pahatan kepala bayi.

“Apa yang kurang, Toleku?”

“Mulutnya, Mbah.”

“Apa harus ada mulutnya?”

Saya hanya tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Mbah Sutini menua bersama patung-patung kayu hasil pahatannya. Tentu dia lebih paham apa yang harus dan yang tak perlu dipahat dalam buah tangannya.

“Kalau tak ada mulut, bagian bawah hidung diukir apa, Mbah?”

“Terserah. Mbah cuma pemahat. Kamu pelanggan.”

“Saya maunya tetap kepala bayi laki-laki, Mbah. Semirip mungkin kalau bisa.”

“Dari awal mbah sudah bilang ndak pernah buat patung bayi, apalagi bayi laki-laki.”

“Mbah pasti bisa, kan sudah sering melihat bayi laki-laki. Ini juga hampir selesai, kurang mulut saja. Hasilnya seperti biasa, membuat saya kagum.”

“Mbah hanya membuat patung dan ukiran sesuai apa yang pernah mbah miliki.”

Mbah Sutini memamerkan senyumnya. Giginya masih utuh meski selalu merah karena menginang. Dia bercerita jika dalam keluarganya bayi laki-laki hanya sebatas harapan kosong. Sembilan anaknya semua perempuan. Dua puluh dua cucunya juga perempuan. Lima cicitnya perempuan pula. Keponakan serta semua keturunannya perempuan. Setiap ingin bayi laki-laki atau melahirkan bayi laki-laki, Mbah Sutini dan sanak keluarganya selalu mendapat musibah yang berakhir dengan ketiadaan janin atau jabang bayi laki-laki. Mbah Sutini bertanya pada saya mengapa ingin kepala bayi laki-laki? Bukankah kepala bayi sama saja? Kepala tak punya kelamin.

“Sebenarnya saya ingin bayi laki-laki, Mbah. Tapi kalau tak bisa, pokoknya kepala bayi saja, Mbah. Laki perempuan sama saja.”

“Jadi apa yang kurang, Toleku?”

“Menurut saya ya tetap mulut bayinya, Mbah.”

“Kamu mau mulut yang bagaimana, Le?”

“Terserah Mbah Sutini saja bagusnya yang bagaimana.”

“Kalau hati mbah ingin mulut yang bisa menggambarkan kesedihan. Tapi tangan mbah selalu suka menggambar kebahagiaan.”

“Kalau begitu buat mulut yang terbuka saja, Mbah. Lebih adil. Tak sedih, tak bahagia.”

“Sedih bahagia siapa yang tahu, Le? Menangis bisa karena bahagia. Tersenyum karena berusaha bahagia.”

Mbah Sutini kembali menatah. Saya mengamati ketekunannya membuat detail ornamen. Namun tiba-tiba tangannya begitu saja melepas alat pahatnya.

“Mbah menyerah, Le. Mbah ndak bisa.”

Mbah Sutini bersandar pada saka rumahnya, menatap kosong pada derasnya hujan yang tak menunjukkan tanda-tanda berhenti, seperti hari-hari dalam sebulan terakhir ini.

“Kenapa, Mbah?”

“Mbah takut ada yang menuntut.”

“Siapa, Mbah?”

Mata sendu Mbah Sutini seperti hendak menyampaikan rasa sesal yang begitu mendalam.

“Janin yang pernah mbah gugurkan. Anak kesepuluh.”

“Tapi apa hubungannya dengan pahatan ini?”

“Akar bambu ini menancap di pusara calon jabang bayi mbah. Sekitar setengah abad lalu, mbah menguburkannya di sana. Dia tumbuh jadi rumpun bambu, beranak pinak melindungi dan menghidupi orang-orang di sini. Tapi sekarang ... dia benar-benar sudah mati. Bayi laki-lakiku sudah mati.”

Mbah Sutini terpejam. Dia tampak menahan tangis. Namun tetap saja air mata mengalir dari sudut matanya dan menurun melewati lekuk keriputnya. Akar bambu berkepala bayi dipeluk oleh Mbah Sutini begitu erat, lantas dia berbicara pada benda itu seperti pada anaknya sendiri.

“Maafkan mak ya toleku, kalau saja dulu mak ndak menyalahi kuasa Gusti Pangeran, kamu pasti lahir, besar dan beranak pinak. Mak pengin dengar suaramu toleku.”

Saya menepuk pelan pundak Mbah Sutini.

“Putra Mbah kan sudah lama meninggal, mungkin dia sudah bahagia di sana.”

“Dari mana kamu tahu kalau dia bahagia? Waktu mbah kuburkan, dia masih segumpal daging. Belum ada ruh yang ditiupkan. Tapi dia hidup, besar dan beranak pinak meski berwujud bambu. Sekarang kamu membunuh toleku. Kamu bawa mayatnya berupa akar bambu dan menyuruh mbah memahat kepala bayi laki-laki di sini. Mbah ndak sanggup.”

“Tenang, Mbah. Ini cuma akar bambu. Mbah tak usah takut. Lihat, ini hanya akar yang sudah mati.” Saya mengambil asbak kepala bayi, memutar-mutarnya di hadapan Mbah Sutini.

“Kalau dia menuntut, apa kamu siap menanggung, Le?”

Saya mengangguk mantap hanya untuk meyakinkan Mbah Sutini agar kesedihannya tak berlarut-larut. Mungkin sebagai ibu, Mbah Sutini menyimpan sesal tiada terperikan selama hidup karena telah menggugurkan janinnya. Janin yang digadang-gadang sebagai anak laki-laki namun tak pernah terwujud.

“Ini Mbah, tatah dan palunya. Kepalang tanggung jika tak diselesaikan. Kurang sedikit saja.”

Mbah Sutini menerima alat pahatnya dengan tangan gemetar. Mungkin dia mulai kedinginan. Sedari hujan belum turun hingga hujan deras tak kunjung reda di langit merah, Mbah Sutini tetap berada di teras samping, duduk di lantai semen tanpa alas dan hanya memakai kemben jarit. Dia menatap saya begitu dalam. Ada lapisan rasa yang tersirat di matanya. Sedih, getir, geram, dendam, cemas, waswas bercampur menusuk kepekaan saya. Mbah Sutini membuat saya menyesali suatu hal yang tidak saya ketahui. Mungkin beginilah caranya dia berbagi cerita. Tidak hanya dengan kata melainkan dengan rasa.

Selama saya jadi bagian dari keluarga besar Mbah Sutini, saya tak pernah sekali pun melihat wanita ini ragu-ragu mengguratkan gambar di atas media pahatnya. Tapi kali ini saya jelas melihat keraguannya. Berulang kali dia menatap saya kemudian beralih ke asbak kepala bayi. Saya terus meyakinkan Mbah Sutini jika semuanya baik-baik saja. Mbah Sutini hanya membawa ketakutannya di masa lampau tanpa alasan.

Sembari terus menatah, air mata Mbah Sutini terus membasahi bagian yang dia pahat. Perlahan bentuk mulut yang terbuka itu pun sudah tampak. Mulut itu seperti melahap semua tangisan Mbah Sutini. Dan tepat ketika Mbah Sutini menyelesaikan bagian lubang di tengah mulut, saya mendengar suara mendengking-dengking sedemikian kerasnya. Mbah Sutini sekonyong-konyong melempar asbak kepala bayi di bawah guyuran hujan dan memeluk saya.

Kami sama-sama tak percaya dengan apa yang kami dengar. Tapi semua jelas. Jeritan pilu yang keluar dari asbak kepala bayi itu bahkan mengalahkan suara hujan. Itu suara bayi. Bayi mungil yang kesakitan karena dipotong dan dicongkel salah satu bagian tubuhnya. Mbah Sutini terus meracau dalam pelukan saya tanpa berani mengangkat kepala.

Dari kejauhan bunyi kentongan bertalu-talu tanda bahaya seolah saling bersahutan dengan jeritan dari asbak kepala bayi. Mbah Sutini mendongak, menatap saya. Lagi-lagi dia memberi pandangan yang membuat saya merasakan sesal yang tak saya ketahui sebabnya.

Ketakutan kami semakin bertambah di hari yang segera menggelap ini manakala banyak warga lari berduyun-duyun di tengah hujan deras sambil berteriak histeris. Banjir bandang! Kali meluap!
Pikiran saya mendadak kacau. Istri saya. Anak dalam perut istri saya. Segera saya melepaskan pelukan Mbah Sutini dan berlari ke jalanan. Seseorang mengatakan bahwa rumah saya dihantam banjir. Tanah samping rumah tempat di mana bambu yang saya tebang itu longsor. Tak ada satu pun yang melihat istri saya. Mereka sama kalapnya dengan saya. Istri saya hamil tua, tak mungkin mampu berlari cepat. Saya hendak berlari melawan arus warga, menyongsong musibah. Sayang, sebuah tangan mencengkeram kuat dan menghalangi saya.

Ketika berbalik, saya mendapati Mbah Sutini memamerkan senyumnya di saat yang tidak tepat.

“Ayo kita selamatkan diri dulu, Le.”

“Tapi istri saya ... calon anak saya ....”

“Istrimu mungkin selamat tapi tidak dengan anakmu. Jeritan yang keluar dari akar bambumu itu mungkin jeritan bayi yang kamu gadang-gadang jadi anak laki-lakimu.”

Saya benci dengan senyuman Mbah Sutini. Harusnya dia bersedih jika benar cicit keponakannya tak selamat. Harusnya dia tak menghalangi saya mencari istri saya sebelum terlambat. Saya menyesal meninggalkannya sendiri. Saya menyesal sudah ....

“Apa kamu menyesal sudah menebangi bambu-bambu itu, Le? Mbah sudah bilang ini bukan takhayul. Ini hukum alam.”

Mbah Sutini memaksa saya tersenyum dengan menarik kedua pipi saya ke samping. Inilah alasan Mbah Sutini selalu tersenyum: kehilangan dan penyesalan.

*****

Cerpen ini pernah dimuat di Media Indonesia Oktober 2019. Sumber gambar Media Indonesia.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama