Raya
Raya
terdiam.
Dalam pekat
hati yang mengambang, seakan tak percaya tetapi sangat nyata. Kepedihan tentu
mengiris sampai inti sel paling dalam , mencacahnya menjadi kepingan yang
lembut tak beraturan. Itulah bayangan Raya tentang hati Sabda.
“Sabarlah
Sabda,” desah Raya menungkas lepas antara dilema.
Bayangan
perempuan sunyi muncul dalam angan Raya, senyum dari masa remajanya mengendap
dalam rasa yang pernah Raya simpan untuk Sabda. Hingga waktu memisahkan senyum
itu dari hati Raya dan saat bersih desa membuat Raya merasakan letupan-letupan kecil
dari hatinya. Perempuan sunyi dari masa remaja Raya.
Akhirnya
Raya sering sekali bertandang ke rumah Sabda, mengajak senyum itu mengembang
lebih lebar dalam tawa yang sunyi. Mengajari bahasa kata dan bahasa cinta untuk
Sabda, semua telah disiapkan Raya dengan tanpa kegamangan beberapa tahun yang
silam ketika ia harus pergi meninggalkan kampung halamannya, merantau menuntut
ilmu.
Hingga
ibu menempatkan Raya pada pinggir tebing
curam, memaksa memilih antara Sabda dan ibunya. Kebekuan ternyata telah
menyelimuti hati ibu dengan segala keduniawaian yang ibu punya.
Raya
menghembuskan nafas panjang memejamkan mata sekejap, berharap tak terjadi
apa-apa pada Sabda. Berharap ketegaran dan kesabaran Sabda, tentu berharap samudra maaf dari Sabda
untuk dirinya dan wanita yang melahirkannya.
Pagi itu
matahari tak mau bercanda di pelataran hari, awan yang mengabu bergelayut. Sama
seperti hati Raya. Mencoba mengumpulkan keyakinan yang terserak.
“Bagaimana
kabarmu, Sabda?” tanya Raya pada angin
sembari merapal sebuah nama yang terlanjur jatuh di palung hatinya.
Secangkir
kopi tanpa gula menemani laju perahu yang ingin menepi pada desir hati Sabda,
merasakan sakit hati dan rinai gerimis atau hujan deras yang menemani hari
Sabda.
Berbekal
keyakinan tanpa kegamangan, Raya menyahut kunci mobil yang berada tak jauh
darinya. Raya mencium punggung tangan ibunya, tanpa sepatah kata Raya
berlalu. Tak begitu di dengar pertanyaan
ibunya, Raya hanya menjawab sebentar bu. Entah sorot mata curiga atau apapun
itu, Raya segera berlalu.
Raya membawa
sebakul resah, resah pada kemungkinan reaksi yang akan diberikan Sabda atas kedatangannya. Raya menatap keluar
jendela, alam begitu mendung sekaligus indah. Seperti wajah Sabda.
Raya mencoba
menuntaskan kata dengan menepis ragu dan kebencian Sabda atas dirinya dan
keluarganya. Mungkin yang entah.
Sekali lagi.
Pintu rumah
itu tertutup rapat, jendela pun sama. Persis ketika pertama Raya datang
menautkan hati pada Sabda. Raya membuka jendela rumah seperti dulu ia membuka
hati Sabda yang sekarang entah.
Raya sadar
sepenuhnya sebuah penolakan mungkin saja digoreskan pada langkah pertama ketika
memasuki selasar rumah Sabda. Tangan Raya berusaha untuk tidak menghadirkan
ragu ketika mengetuk rumah Sabda. Harapan Raya juga ia mengetuk hati Sabda.
Sejenak
kemudian terdengar langkah dari dalam rumah. Pintu terbuka. Tampak nenek Sabda
tercengang mendapati Raya berdiri di depan pintu.
Raya
menanyakan Sabda sambil matanya terus menelisik ke dalam rumah. Nenek
mempersilakan Raya masuk dan duduk. Bagi Nenek, harapan terbesar Sabda adalah
Raya. Pemuda yang bertanggungjawab atas luka bidadari cantik yang ia punya,
sekaligus harapan ketika usia tak lagi terbit dari timur untuk menemani Sabda. Sabda
punya seseorang yang menyayanginya, maka hal itulah yang diangankan Nenek ketika undangan jamuan makan Tuhan telah
sampai. Nenek bisa melenggang tenang meninggalkan Sabda, saat tangan Tuhan mengajaknya berdansa.
Sabda
memandang Raya seakan tak percaya.
Antara rindu
dan kecewa menyergap palung hati yang paling. Perasaan Sabda teraduk-aduk. Pagi
jelang siang pun masih dalam pelukan melodrama sunyi, sesunyi pertemuan dua
insan yang lebur dalam tembang asmaradana.
Baik Raya
maupun Sabda terdiam, terpaku dalam desir yang tak dapat dipahami.
Bahkan kalau
nanti senja paling saga pun muncul takkan mampu menahan kelopak mata Sabda untu
merinai dalam hujan. Raya menyambut tangan Sabda secepat itulah tubuh Sabda
berada dalam pelukan Raya. Pada dada bidang
itulah Sabda menumpahkan hati dan harapan akan sebuah kehadiran.
Raya
merasakan lambaian anak rambut Sabda di antara jemari tangannya. Jemari Raya
bergetar ketika mengelus rambut Sabda dan meraih pinggang gadis pujaan agar semakin mendekat. Detak detik jantung Raya
berpusat pada bidadari cantik yang dipeluknya erat. Perempuan sunyi yang membuatnya riuh.
Hujan turun
sangat deras, seakan menyambut pertemuan Sabda dan Raya. Tergengam dalam hangat rasa
yang teraduk dalam sedih dan bahagia.
Sabda
Kubiarkan saja Raya merengkuh lembut
tubuhku. Menarikku masuk ke dalam lapisan hangat selimut, mendekapnya lama.
Perlahan dan tenang, Raya menyentuh lembut daguku, memisahkan kedua bibirnya,
untuk kemudian menciumku dengan tenang.
Raya tidak lagi gugup seperti beberapa
jam yang lalu ketika Raya memutuskan untuk mengajakku ke kamar ini. Raya
seakan-akan telah bermetamorfosis dengan sempurna.
Tak pernah aku membiarkan hal itu
terjadi sebelumnya, tetapi aku biarkan bibirku berada di sana. Membiarkan diriku manja dalam pengalaman yang tak pernah kami
jamah. Mengetahui rasa jutaan saraf kecil yang memercikkan aliran medan magnet
yang bertautan dengan deru nafas dan detak jantung ketika dua bibir bertemu.
Kami menikmati setiap detik. Sama-sama
terbawa kenangan. Malam ini penuh nikmat yang sesat. Kunci kamar hotelpun
tergeletak begitu saja. Di luar masih hujan.
Entah apa
yang merasuki kami, kami memutuskan untuk melakukan dosa berdasar pembenaran
yang kami buat sendiri.
Setiap saat
pergulatan desah dan peluh kami lakukan, sampai pada titik dimana benih cinta
kami tumbuh dalam rahimku.
Cemas dan
resah mengelayut dalam remang kepastian yang nyata. Kukatakan kabar yang harus
kuberi makna bahagia sekaligus sedih kepada Raya. Raya bahagia sekaligus
gundah, di antara dua pilihan. Pilihan di mana aku pun harus memilih pilihan
yang entah.
Dua bulan
berlalu, semburat kebahagiaan sekaligus kesedihan mendera hati kami yang paling
palung sedang janin ini terus tumbuh. Aku masih menunggu Raya mengatakan bahwa
ia akan menikahiku begitu juga Raya sedang menunggu tetesan embun pagi mampu
melelehkan beku hati ibunya.
Memohon
restu sang ibu.
****
Siang itu
panas tak berkompromi dengan siapapun, begitu juga denganku. Ia menyengat
kulit, meninggalkan aroma matahari yang khas pada rambut yang lepas tergerai.
Segera saja
kukemas pakaian yang masih tersangkut pada tali-tali jemuran. Dibalik tali-tali
jemuran itu mereka melihat,
berbincang-bincang tentang perut yang semakin lama semakin buncit, memperhatikan
setiap tingkah laku dan terkadang
kelakar mereka menjadi lebih sakit jika tak terdengar. Aku harus segera
berlalu, menghindari tatapan sinis dari para tetangga.
Mobil BMW
putih berhenti di pekarangan rumah, ketika aku meletakkan beberapa pakaian di
atas dipan. Aku melonggok keluar. Aku terkejut. Ibu Raya.
Tanpa
mengetuk pintu ia pun masuk dan sekarang sudah berada di depanku. Bertolak
pinggang. Marah. Mengeluarkan cacian,
melempar uang dan satu hal yang membuatku harus memeras airmata lebih dalam
adalah ia ingin aku menggugurkan bayi dalam kandunganku.
Airmata
berderai tapi aku takkan melakukan apa yang diminta Ibu Raya. Sorot mata tak
suka ia kibas dimukaku. Aku menentangnya. Sebuah pukulan hendak mendarat, namun
tangan Raya menahan tangan ibunya. Raya. Aku tahu kamu pasti datang.
Nenek jatuh
bersimpuh di kaki ibu Raya memohon agar ia tidak menyakitiku.
“ Ibu,
sebeku apa hati Ibu? Aku memberitahu Ibu soal kehamilan Sabda bukan untuk
menyakiti Ibu dari calon anakku Bu. Darahku mengalir pada janin yang dikandung
Sabda. Darah Ibu juga. Aku meminta Ibu merestui kami dalam ikrar penikahan, Bu.
Agar meredam segala fitnah dan hujaman kata yang tertuju untuk Sabda,” Raya
memandangku, memberi kekuatan padaku untuk bertahan, “aku mencintai Sabda, Bu.
Cobalah Ibu mengerti!.”
Ibu Raya
terdiam.
“Baiklah
Raya, Ibu merestui pernikahan kalian.”
Raya
tersenyum, mengucap berkali-kali terima kasih dan memeluk ibunya. Nenek pun
merasa bahagia.
Aku hanya
tersenyum, mencium punggung tangan Ibu Raya.
***
Pernikahan
kami pun berlangsung, Ibu Raya memberikan sebuah amplop padaku. Itu untukmu,
jangan beritahu siapapun termasuk Raya. Begitu gerak bibir Ibu Raya yang aku
baca.
Aku membuka
lembaran surat dari Ibu Raya di dalam kamar mandi ketika pergantian baju untuk
pengantin.
“Baca
baik-baik, setelah bayimu lahir. Gugat cerai Raya. Aku tak pernah memberimu
restu untuk jadi istri Raya dan kalau kamu masih bersikeras ingin menjadi istri
Raya, maka hari-harimu akan seperti di neraka. Nenekmu, kamu dan anakmu. Camkan
itu!”
Aku menahan
tangisku, meski satu bulir telah jatuh.
Pesta ini
meriah, riuh oleh tamu undangan. Senyum Raya menghias. Begitu pula tamu
undangan yang datang.
Namun tidak
denganku, semua serasa sunyi dan hambar. Ini hanya sandiwara. Senyum dan tawa
yang palsu menghias di bibir Ibu Raya. Senyum dan tawa yang sama seperti
milikku juga.
Palsu.
Sunyi akan
tetap sunyi, seriuh apapun keadaannya.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon