Berhubung target nulis saya sudah terpenuhi semalam, saya
mau nulis sesuatu yang agak sedikit berfaedah. Iya, bener, selama ini
tulisan-tulisan saya di blog, di platform, enggak semuanya berfaedah. Kalaupun
ada yang udah diterbitin, berarti itu keberuntungan yang disengajakan Tuhan.
Bleh! Oke, pembuka ini ngelantur bener. Haha
Jadi ceritanya topik tulisan ini sudah mau saya posting
sejak pembicaraan personel DK dan alumni kekom beberapa bulan yang lalu, tapi
berhubung saya orangnya sering omong doang, artikel itu baru terealisasi
sekarang. Kami waktu itu sedang membahas tentang komentar pembaca tulisan kami
di berbagai platform kepenulisan. Tipikal komentar pembaca kan macem-macem, ada
yang kejam sekali kayak ibu tiri, ada yang mau ngekritik pedas tapi mancing
dulu pake pertanyaan, ada yang manis banget kayak es krim. Dengan adanya
keberagaman gaya komentar ini, kami memunculkan istilah baru dalam dunia
pembacaan tulisan dengan istilah ‘Dedek Gemes’. Istilah umumnya Dede Gemes ini
adalah pembaca Anda yang setia. Atau bahasa gaulnya adalah followers di
platform tulisanmu. Sedang istilah khususnya adalah: pembaca yang sering membuatmu
kelepek-kelepek karena komentarnya yang selalu manis kayak es krim. Sekali
lagi, istilah ini enggak penting. Anggap saja angin lalu.
Saya engga mau bahas Dedek Gemes (selanjutnya saya bakal
sebut ini GG aja deh) ini lebih jauh karena bakal tulisan ini jadi panjang dan
jadi ghibah. Jadi saya mau nulis aja tentang tingkatan apresiasi dalam karya
sastra. Topik ini jadi salah satu materi di kuliah Pengantar Kasusastraan. Saya
enggak punya rujukan bukunya karena saya nemu ini di buku catatan kuliah. Saya
pernah cari di mesin pencarian, tapi rasanya susah sekali.
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, tipe pembaca ini
banyak sekali. Ada yang hobi memuji, ada yang memberi masukan, ada mengkritik
tanpa ada bukti dan lain-lain. Apapun itu, yang pasti ini bukan masalah
kepribadian seseorang, tapi ini adalah mengenai seberapa banyak isi kepala
seseorang dalam menelan bacaan. Seberapa beragam bacaan yang diserap seseorang
hingga bisa menilai bacaan dengan baik.
Kasta pemabaca ini tidak bersifat absolut, jadi suatu saat bisa saja
naik ke level tertentu, atau turun ke level tertentu. Oke, sebelum kamu bosan,
saya jabarin aja langsung
.
Level 1: Taraf Non Objektif
Ini adalah level paling rendah dalam memberikan apresiasi
terhadap suatu bacaan. Tipe pembaca ini adalah pembaca pemula yang gampang
‘baper’ karena suatu hal tertentu. Dia tenggelam karena tulisan A indah, tapi
dia enggak bisa menjelaskan gimana bagusnya buku yang baru saja dibacanya. Ini
adalah titik awal seseorang untuk menjadi penikmat buku.
Level 2: Taraf Liris
Tingkatan ini naik satu level dari tingkatan yang pertama.
Kalau taraf non objektif adalah tipe pembaca yang baperan, di level ini pembaca
bisa mengungkapkan kembali pengalaman estetika setelah membaca tulisan
tertentu. Dia bisa jelasin apa yang membuat dia tertarik dengan sesuatu yang
sedang diciptakannya.
Level 3: Taraf Impresionistis
Nah, kalau di level ini, pembaca sudah mulai terpengaruh
dengan bacaan tertentu, tapi sayangnya hanya selintas. Dia sudah mempunyai
kesan dan pandangan terhadap suatu tulisan. Pembaca ini sudah bisa menilai
sesuatu meskipun belum terlalu mendalam.
Level 4: Taraf Esai
Sedikit naik dari taraf impresionistis, level esai ini sudah
bisa menjelaskan keindahan suatu karya sastra, hanya saja belum berdasarkan
logika ilmiah. Dia menilai suatu tulisan dengan sangat-sangat subjektif menurut
pemikirannya sendiri. Saran saya, untuk seseorang yang merasa sudah berada di
taraf ini adalah dengan bergabung komunitas pembaca yang tepat agar bisa
berpikir terbuka.
Level 5: Taraf Stilistika
Buat saya, level ini adalah tingkatan dasar buat seseorang
yang mengaku-ngaku ingin menjadi penulis. Bagi pemula yang baru saja ingin
memulai menulis, level bacaanmu harus minimal sampai di titik ini. Enggak boleh
kurang. Pada dasarnya, taraf stilistika ini sudah bisa menjelaskan keindahan
tulisan secara ilmiah, tapi masih subjektif. Pembaca ini sudah kaya akan buku
bacaan yang beragam, bisa membandingkan berbagai teori untuk menelaah karya
sastra, tapi penilaiannya masih berdasarkan pemikiran sendiri.
Level 6: Taraf Ilmiah
Level ini biasanya
harus dicapai jika seseorang ingin menjadi ilmuan, akademisi sastra dan
kritikus sastra. Tipe pembaca ini akan membandingkan karya fiksi tertentu
dengan teori yang relevan untuk membentuk penilaian yang paling objektif. Seorang
kritikus sastra atau ilmuan sastra misalnya, untuk bisa memberikan penilaian
terhadap karya sastra, seorang kritikus akan menggunakan teori tertentu yang
cocok memberikan penilaian terhadap karya sastra. Misal, novel Ronggeng Dukuh
Paruh bisa ditelaah dengan teori Sosiologi.
Seengaknya ada enam tingkatan itu yang bisa saya bagi. Sama
seperti proses berbahasa pada manusia yang kompleks, membaca juga perlu proses
yang panjang. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, proses ini dinamis dan
idealnya bertumbuh. Ketika saya kuliah sastra dulu, taraf membaca saya mungkin
sudah di level ilmiah karena tuntutan kuliah saya waktu itu. Sekarang bisa jadi
turun ke level di bawahnya karena sekarang hanya membaca buku sastra. Hehe. Gak
masalah karena itu pilihan saya sekarang . Tapi intinya adalah, proses pembacaan
sastra adalah soal latihan membaca yang intens dengan bacaan yang beragam.
Kalau kamu penulis, tulisanmu bakal jauh lebih baik. Tapi lagi-lagi ini soal
pilihan.