Jimi di Nada E Minor

Temannya, Danu, sedang menghadap tembok kamar dari satu setengah jam lalu. Ngomong sendiri. Dextromethorphan sudah larut dalam otaknya yang secuil. “Monoton,” uringnya, “Hidup gue monoton, Njing.” Lalu kepalanya menempel ke dinding. Pasrah. Ingin mati. Ingin bersenggama juga.

Jimi cuma bisa menghela panjang menyaksikan temannya. Sekilas hasrat pingin kawin menularinya juga. Sedang musik regae semakin meliuk, mengajak untuk terus rebahan, terus molor, dan lupa harus apa. Jimi malah teringat si Putri yang diembat sobat sendiri. Temen makan temen yang jadi budaya peradaban. Putri tidak cantik, Jimi dan semua orang di dunia tahu itu, cuma payudaranya yang selalu bikin deg-degan. Bangsat itu akhirnya bangun dan kencing di deket kantor kecamatan.

Jalanan yang sepi. Baru jam sebelas, tapi bulan memang ogah nampak dari kemarin. Kota ini mati, juga mematikan harapan-harapan brengsek lainnya. Pantat semakin tak jelas mengalir ke mana. Pantat itu bergeser mengencingi jalanan di depan toko beras juga, walau hanya berupa tetesan. Tiba-tiba Danu, temannya yang sudah dua jam menghadap tembok, loncat dari kamar, melewati Jimi, melangkahi air kencing yang setetes-tetes miliknya juga.

“Nyari Jablay!” jawab Danu ketika ditanya. Lantas Supra X butut diselah, mesin menderu tergesa dan motor bututnya hilang di perempatan.

Besoknya Danu ditemukan tewas nabrak pohon dekat jembatan.

Malam minggu berikutnya Jimi dan teman-teman berkumpul buka botol untuk kepergian Danu. Berbotol Mansion House KW10 dioplos bir. Marijuana kualitas jelek dilinting lantas dicucuh. Demi Danu sahabat bodoh tercinta yang mampus nyipok pohon!

Untuk lebih khusuk berduka, pelacur piyik yang doyan cekikikan segera diculik dari perempatan. Dicekok, dibuat tidak sadar. Jimi sempat meratap sebelum menempelkan kepalanya ke tembok. Mulutnya komat-kamit merapal nama Putri yang semok, yang payudaranya bikin jantung dan selangkannya bergetar berkali-kali. Demi Putri yang baru diciumnya sekali di pipi. Bangsat payah itu merasa sepi di antara bingarnya Social Distortion dan cekikikan Jablay di bawah umur. “Fuck You, Putri!”

Dasar pemuja mantan.

Akhirnya Jimi bangun sempoyongan pingin kencing. Sedikit kaget sewaktu mendengar lenguhan manusia di belakang kantor kecamatan. Ia menghampiri suara itu dan mendapati temannya, Bobi sedang menindih pelacur piyik yang terus merem-melek kepayahan.

“Jangan meludah di dalem, bro Bob. Woles aja,” ucap Jimi sambil jongkok. Tangannya lantas menepuk-nepuk pundak temannya.

Bro Bobi hanya melenguh matanya beler keaduk birahi nanjak. Pelacur piyik yang ditindihnya sempat melek mendengar suara Jimi lalu melanjutkan erangan tanggung yang sempat di-pause.

Sebulan kemudian Bro Bobi kena penyakit kelamin.

cerpen zeth dimensikata

Selepasnya hanya berupa siang panas seperti biasanya. “Tokai,” ucap Jimi ke cermin di hadapan. Lamb of God sedang kencang-kencangnya menderu di kamar ketika pemuda tengik itu memoles rambutnya dengan pomade. Sempat berusah menirukan geraman Chris Addler sebentar lalu meloncat ke kasur, tiduran lagi.

Now you’ve got something to die for... 

Jimi dari dulu merasa dirinya adalah golongan pemuda edgy pemuja musik setan dan membenci keparat nihilis sok keren yang menganggap Peter Say Denim, Macbeth itu syarat untuk tampil trendi. Sampai dari dapur bokap berteriak, itu artinya volume musik harus segera diturunkan. “Ngepet,” rutuk Jimi kepada Bokap yang sedang makan di dapur, pelan sekali.

Jimi akhirnya cabut, menerjang panasnya jam satu siang dengan pomade yang berkilat di batok kepalanya. Dengan kaos kumal-belel-luntur warna hitam andalan yang sudah disemprot minyak angin murahan cap Batman, dengan jins ketat robek-robek-dekil dengan bermodal hati sekuat baja, pantat metal anti karat, idealisme sachetan dan jumawa masa muda. Punkrock sampai neraka! Jimi sempat mengumpat bau got dan kekumuhan lain dalam kejumawaannya.

Tetapi ponsel di saku keburu berdering. “Hallo, Vip.” Bau got semakin tercium, “Tadinya mau ke rumah si Bobi, kenapa?“ Bau pomade murahan tercampur bau bangkai tikus di selokan, “Oke, gw roll ke sana deh.”

Jimi langsung jongkok, Converse abal dikencangkan talinya, lantas angkot jurusan Pondok Gede yang monyong serta merta dicegat. Perasaan Jimi berkobar, sedang merasa menjadi pria tampan yang dibutuhkan gadis-gadis sok kesepian.

Dan sampailah pengangguran sialan itu di Pondok Gede yang sama gersangnya. Lantas menyeruduk gang samping pasar dan masuk ke komplek kos-kosan yang bertuliskan ‘Ada Ibu Kos Galak’. Mata Jimi lantas mendapati poster Lennon di dinding samping Air Conditioner yang berdengung, dekorasi yang dominan biru cerah dan tumpukan buku yang judulnya bikin ngantuk. Kamar indekos yang selalu rapi, selalu nyaman, pikir Jimi. “Elu nggak ngerokok, Vip?”

Cewek yang sedang duduk di sampingnya menggeleng, “Etapi, pingin sih, Avolution tapi.” kepalanya semakin merosot sedang kaki lurus numpang ke sofa lain.

“Sampoerna Mild nggak mau?”

“Nggak ah, nggak nyaman aja di tangan.”

“Minta kopi dong.”

“Gue ada Bacardi sih. Sisa tahun baruan.”

Jimi menggaruk pipinya, “Itu kan sebulan yang lalu.”

“Ya kalau lu datengnya sebulan yang lalu sih, mungkin udah raib.”

Jimi ngupil, bimbang. “Elu pengen mabok ya, nyuruh gue ke sini?”

“Serem sih gue sama lu kalo lu mabok.”

“Gue paling meluk dinding.”

Vip beringsut bangkit membuka kulkas, lalu melempar Toblerone ke Jimi. “Eh, terus gimana si Putri?”

Jimi membuka cokelat batangan yang hampir mendarat di kepalanya. “Belum kempes, masih bohay.”

“Muka aja sok serem, dandanan metal, gondrong, celana sobek-sobek, dengerin lagu setan, tapi lu masih muja mantan. Hati-lu baja, tapi pantat-lu melankolis, Nyet!”

“Asu!” Jimi bangkit dan bergerak ke arah audio set, Everlong dari Foo Fighter menggema.

“Walking After You aja, Nyet.” Vip meminta sambil menuang miras ke gelas kaca ukuran medium.

“As you wish, milady.”

“Haha..”

Tonight I’m tangled in my blanket of clouds... dreaming aloud....

AC dimatikan berganti kipas mengadah jendela mengusir asap rokok. Vip sudah habis hampir lima batang. Persetan Avolution. Bacardi di-mix entah sama minuman apa yang jelas Vip kandas terlentang di lantai entah di gelas ke berapa juga. Jimi masih duduk anteng di sofa sibuk dengan game online di ponsel pintarnya.

“Si Emi Hamil, Nyet,” erang Vip.

“Apa?”

”Si Emi Hamil, Nyet!”

Jimi sedikit beranjak guna menaruh ponselnya ke atas meja lalu seketika itu pula kepalanya mulai berat, dunianya berputar ke segala arah. “Sialan, baru kerasa,” rutuknya.

“Dia nanya ke gue obat buat gugurin kandungannya.” Erangan Vip udah mulai sedikit tak jelas.

Tentu saja Jimi tahu Emi siapa, gadis dua puluh tahun itu kekasih temannya yang baru meninggal, si bego Danu yang nabrak pohon itu. “Danu, lu mau jadi bapak.” Mata Jimi terangkat ke atas menatap langit-langit, memberi pesan kepada temannya di neraka.

“Makanya gue nyuruh lu ke sini. Gue mau bilang itu dan kali aja lu tahu obatnya apa.”

“Persetan, gue nggak ikutan masalah aborsi kayak gitu.”

“Itu kan gara-gara temen lu, si Danu anjing itu.”

“Persetan, Vip. Kalo lu hamil gara-gara gue, baru gue mikir.”

Vip bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya. “Emang lu mau hamilin gue?”

Jimi menatap Vip, melihat ke arah dadanya, lalu kembali ke bibir. “Ya kagak.” Jimi menelan ludah berkali-kali, sekilas Putri muter-muter di kepalanya.

Vip rebah lagi, terlentang kembali di lantai. “Sialan, kepala gue ada tujuh. Persetan, mungkin lebih.”

“Berapa bulan si Emi?”

“Katanya, sih, baru dua bulan dia telat. Lu tahu nggak, si Bobi nembak gue sebelum tahun baru.”

“Si Bobi lagi sipilis!”

“Ya Tuhan, terima kasih atas petunjukMu.”

Jimi sudah berada di lima dimensi: panjang, lebar, luas, kutang dan celana dalam. “Terus lu dianggurin aja kayak gitu, entar dilalerin lho.”

Vip sudah tidak berdaya, dia merem terus, tidak menjawab. Tapi Jimi tidak yakin, mungkin Vip sedang mengisyaratkan kode. Jimi menelan ludahnya lagi. Setelah meraih rokok dan membakarnya ia beranjak ke audio set lagi lantas memutar Hellacopter. I Might Come See You Tonight pun melantun, melayangkan aroma rock dengan distorsi garing yang renyah.

Kepalanya mengikuti beat lagu. Pikiran Jimi sedang dalam satu ruang di masa lalu, dan ia ingin kembali ke sana. Saat-saat di mana tak ada keresahan-keresahan dalam kesehariannya. Dia mengutuk Jimi Danger si biang kerok dari The Upstair yang berkata, ketatkan celanamu dan berdansalah dengan resah!

Bacardi dituang lagi. Teringat bapak yang terus minta maaf karena tak bisa membiayai kuliahnya. Teringat supervisor bajingan di restoran tempat terakhirnya bekerja. Lantas Jimi mengutuk dirinya sendiri.

Dia tak tahu apa yang dia inginkan dalam hidup. Kadang hidup hanyalah apa yang orang lain tentukan kepadamu. Menjadi seperti mereka yang sama-sama tidak tahu harus menjadi bangsat macam apa. Jimi sudah lupa jawaban apa ketika ditanya guru SD-nya mau jadi apa setelah besar. Persetan, semuanya terasa menjadi klise. Ia teringat Danu yang pingin jadi penjahat keren seperti di film-film action, yang kerjaannya memperkosa anak orang, merampok bank, haha-hehe, lantas ditembak polisi di dekat Kalimalang. Di neraka Danu pasti malu kepada malaikat karena cuma mati nabrak pohon.

“Nyet,” Vip akhirnya mengerang lagi, dia masih merem, tubuhnya masih menempel di lantai. “Kalo lu nunggu gue nyosor duluan, ampe tujuh kali taun baru juga, gue nggak bakalan nyosor.”

Jimi langsung loncat ke pelukan Vip. Mencumbu Vip yang tiba-tiba jadi ada tenaganya.

Dua bulan kemudian Vip hamil.

Jimi merayakannya dengan menghadap tembok ratapan. Di sampingnya, Bobi, dengan endapan Dextromethorphan di kepala, bertanya tentang obat sipilis mujarab. Jimi malah bertanya balik ke pemuda durjana itu, apa kira-kira obat penggugur kandungan yang ampuh. Bobi mendelik. Langsung terbahak, tersedak beberapa kali sambil mengutuk setan.



Zeth,

Jakarta, 2014




Z

Ternyata cuma Regular Everyday Normal Mutavaka

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama