Gadis Kretek - Review


Sinopsis Gadis Kretek karya Ratih Kumala.

Pak Raja sekarat. Dalam menanti ajal, ia memanggil satu nama perempuan yang bukan istrinya; Jeng Yah. Tiga anaknya, pewaris Kretek Djagad Raja, dimakan gundah. Sang Ibu pun terbakar cemburu terlebih karena permintaan terakhir suaminya ingin bertemu Jeng Yah. Maka berpacu dengan malaikat maut, Lebas, Karim, dan Tegar, pergi ke pelosok Jawa untuk mencari Jeng Yah, sebelum ajal menjemput sang Ayah.

Perjalanan itu bagai napak tilas bisnis dan rahasia keluarga. Lebas, Karim dan Tegar bertemu dengan buruh bathil (pelinting) tua dan menguak asal-usul Kretek Djagad Raja hingga menjadi kretek nomor 1 di Indonesia. Lebih dari itu, ketiganya juga mengetahui kisah cinta ayah mereka dengan Jeng Yah, yang ternyata adalah pemilik Kretek Gadis, kretek lokal Kota M yang terkenal pada zamannya.

Apakah Lebas, Karim dan Tegar akhirnya berhasil menemukan Jeng Yah?

Gadis Kretek tidak sekadar bercerita tentang cinta dan pencarian jati diri para tokohnya. Dengan latar Kota M, Kudus, Jakarta, dari periode penjajahan Belanda hingga kemerdekaan, Gadis Kretek akan membawa pembaca berkenalan dengan perkembangan industri kretek di Indonesia. Kaya akan wangi tembakau. Sarat dengan aroma cinta.

Review.

Yang paling saya suka dari buku ini adalah plot yang diusung penulis. Penulis piawai menarik titik-titik peristiwa dari berbagai zaman (pra kemerdekaan; pasca kemerdekaan, dan zaman modern) lalu menghubungkannya menjadi sebuah cerita tanpa satu celah plot pun. 

Bekas luka di kepala Pak Raja menjadi pintu masuk terkuaknya sejarah kebesaran kretek Djagat Raja, konflik dan asmara masa lalu Raja dan Jeng Yah, serta intrik bisnis kretek Djagat Raja dari zaman ke zaman. 

Alur mundur/ kilas balik dan penggunaan generasi ketiga keluarga sebagai frame cerita juga menarik. Dimulai dengan sakratul maut Pak Raja, pembaca dibawa melanglang buana menuju kota kecil di Jawa Tengah. Sang gadis kretek diulas perlahan-lahan, mulai dari moyangnya yang jatuh bangung mencari cinta dan kemapanan, lalu kelahirannya yang dibumbui kekisruhan dan ramalan kehancuran perusahaan bapaknya, hingga kisah cintanya dengan Raja yang berujung prahara. 

Cerita ini mengalir lembut, dengan bahasa santai yang membuat pembaca betah berlama-lama membaca sambil sesekali menyeruput kopi dan merokok pelan-pelan. Penulis mampu menyulap sejarah kretek yang membosankan menjadi sajian yang enak dibaca; srinthil, sari tembakau yang lengket di tangan, merek-merek dagang unik zaman dahulu, semuanya diramu dengan baik. Bukan sebagai data, tetapi pelengkap fiksi yang manis.

Masing-masing tokoh menceritakan kisah menurut perspektifnya sendiri. Baik dari Idroes Moeria, maupun Soedjagat sebagai tokoh kunci. Namun sayangnya, perspektif dari Soedjagat hanya secuil dan tersirat dari dialog anak-anaknya. Proporsinya agak banyak pada Karim. Seandainya saja perspektif dari Soedjagat ditambah, akan jadi bahan menarik bagi pembaca karena bisa membandingkan kejujuran kedua tokoh kunci tersebut.

Semuanya keren, jika saja POV yang digunakan tetap dalam POV III atau kalau memang tetap menggunakan POV campuran sebagai pembuka dan penutup, bukan POV Lebas. Menurut selera saya, atmosfir kellembutan jawa yang terbangun dari awal hingga menjelang akhir cerita sedikit terganggu dengan penutup yang menggunakan POV Lebas. Mungkin karena diksi yang dipilih (sesuai karakter Lebas yang anak Jakarta) membuat warna novel ini tidak selaras. 

Overall, saya suka novel ini. Rekomendasi untuk pembaca yang suka dengan warna tulisan Pram atau Ahmad Tohari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama