Pulang Kampung Bersama Api Awan Asap (sebuah review)


Api Awan Asap adalah salah satu pemenang sayembara DKJ pada tahun 1998, menduduki posisi ketiga (tempat pertama dikuasai Saman). Mengingat kekisruhan dan segala camuh di Ibu Kota, rasanya menakjubkan sayembara ini masih bisa berlangsung—dan saya menemukan bukunya untuk mengenang.

1998 adalah tahun yang istimewa. Sebagai tahun kelahiran, tahun kampung saya dijajahi tangan-tangan ‘orang luar’, dan tahun bencana kabut asap pertama kali muncul di bumi Tambun Bungai.

Api Awan Asap bercerita tentang suku Dayak Banuaq dan kisah cinta segitiga antara Jue, Nori, dan Sakatn. Kedua konflik ini—seperti minyak dan air—terpisah walau berada dalam satu mangkok yang sama. Cerita bermula dari upacara Nori dan Sakatn. Setelah 20 tahun menunggu, saling tarik-ulur pernyataan cinta, dan akhirnya prosesi lamaran yang alot: akhirnya kedua sejoli itu memutuskan menikah dengan berbagai syarat.

Namun tiba-tiba, Pune—anak perempuan Nori—terjerembab dalam sebuah lobang yang dalam hingga sajen darah kerbau di tangannya berhamburan mencemari kedua kaki pengantin. Dari sini kisah mundur ke belakang, ke asal-usul Lou (desa) Dempar, dan kehidupan suku Dayak Banuaq yang penuh kearifan lokal.

Kita akan ditarik ke muasal terciptanya Lou Dempar. Yang awalnya dibangun Petinggi Jepi dari sebatang pohon ulin raksasa. Kemudian menjadi pondasi huma besar yang mewujud tempat tinggal satu-satunya seluruh warga Lou Dempar (mirip-mirip Betang-lah). Dari sini, kita akan tahu bagaimana mekanisme hidup mereka di dalam Lou. Mulai dari pembagian lahan, pemanfaatan hutan adat dengan membaginya menjadi enam area khusus, kerajinan anyaman, ukiran kayu para pemuda, romansa antar remaja, bagaimana yang tua memberi ilmu tips berumah tangga lewat kegiatan menyusun manik-manik, atau sekadar mengasah parang.

Sampai datangnya orang-orang dari luar kalimantan yang mulai mengklaim lahan-lahan kosong untuk ditamani pohon sawit. Banyak kearifan lokal yang hancur. Hutan dibabat. Dibuka secara berlebihan. Perusahaan membakar pepohonan membabi buta. Menghanguskan ratusan hektar lahan dalam sekali sentak hingga menimbulkan bencana kabut asap yang merusak ekosistem alam. Tetapi yang disalahkan adalah warga.  Kegiatan membakar lahan (Dayak Ngaju menyebutnya manusul tana) dilarang pemerintah karena dianggap sebagai pencetus kabut asap. Padahal sejak ratusan tahun warga dayak hidup di kalimantan, hanya ketika ‘orang-orang luar’ datang itu saja, baru terjadi bencana.

Sayangnya, konflik yang begitu memikat itu hanya jadi sampingan. Hampir separuh lebih cerita fokus pada keteguhan Nori. Janda beranak satu yang digilai sahabat suaminya sendiri, Sakatn. Tahu Nori menjanda, sebab suaminya hilang begitu saja di gua tempat orang memanen walet. Sakatn—tanpa sedikit pun rasa menyerah—terus mendekati Nori, dan membantunya tanpa pamrih dalam segala aspek.

Nori sendiri adalah putri dari Petinggi Jepi, pemimpin di Lou Dempar. Karenanya, posisi Nori dianggap terpandang. Dua lelaki yang bisa mendekatinya hanya Jue dan Sakatn. Pemuda unggul dengan segala ketampanan dan kerajinannya. Yang memiliki kebaikan tiada dua dan siap menolong siapa saja tanpa pandang bulu.

Bahwa sesungguhnya, separuh buku ini hanya berputar pada rayuan dan usaha Sakatn merebut hati Nori yang keras bagaikan batu.

Saya sendiri agak merasa bosan pada usaha Sakatn yang terasa repetitif dan terus terulang di beberapa bab. Karena ceritanya seperti tidak beranjak. Dialog-dialog antar Sakatn dan Nori sendiri penuh filosofi dan bunga-bunga. Hingga kadang membuat dahi mengernyit, kenapa terasa terlalu berlebihan?

Konflik di antara mereka pun hanya sebatas perihal cinta. Padahal ada masalah lain yang lebih penting di luar Lou Dempar. Tetapi sepertinya tidak terlalu mengganggu, sebab Sakatn melamar Nori besar-besaran. Dan membuat janda itu kebingungan karena tidak enak menolak. Bahkan, meski Nori berkata iya, ada banyak syarat yang harus dipenuhi Sakatn termasuk urusan ranjang, dan tidak boleh ada anak selain Pune.

Membuat saya meringis ngilu, ke mana konflik hebat di awal cerita tadi?

Ending cerita sendiri mudah ditebak. Apalagi blurb-nya menyisipkan petunjuk mahapenting itu terang-terangan:

Di sebuah kawasan, tepi Sungai Nyawatan, penduduk membangun lou (betang, rumah panjang). Dari lou itu, dua sahabat -Jue dan Sakatn- setelah menempuh perjalanan 300 kilometer, memasuki gua untuk mengambil sarang burung walet. Jue yang baru sebulan menikahi Nori, putri Petinggi Jepi, bertugas masuk ke dalam gua sambil pinggangnya diikat dengan tali plastik; sementara Sakatn menunggu di luar. Karena diam-diam Sakatn juga mencintai Nori, Sakatn lalu mengerat tali plastik itu. Akibatnya, Jue tersesat dalam gua yang gulita.

Dua puluh tahun setelah peristiwa itu terjadi, tatkala malam terakhir dari delapan malam upacara perkawinan adat Sakatn-Nori, tiba-tiba Pune, putri Nori dari bibit Jue, terperosok dalam sebuah lubang aneh. Kakinya terasa dipegang orang dari bawah tanah. Orang-orang mengira yang mencelakai kaki Pune adalah hantu tanah. Namun, setelah khalayak ramai-ramai menarik Pune dari longsoran tanah, tiba-tiba muncul seseorang seperti manusia purba ke permukaan tanah. Badannya putih pucat karena tak pernah kena sinar matahari, rambutnya panjang melewati tumit, dan matanya sipit. Tak ada yang bisa mengidentifikasi bahwa manusia tanah yang dikira tonoy itu adalah Jue, kecuali Nori dan Petinggi Jepi.

Kenapa, bagian ‘mengerat tali’ bisa ada di blurb padahal di novel, ini merupakan twist yang bisa jadi sangat menendang. Kenapa? (pundung di pojokan). Bahkan konflik perebutan lahan masih terasa belum tuntas. Seolah mengambang. Kenapa? (pundung lagi). Terus itu, kenapa semua konflik dalam satu novel habis dibahas dalam dua paragrap? saya bacanya jadi udah tahu bakal ke mana, kan.

Kesan terakhir: ini novel yang apik. Saya suka latarnya, tetapi tidak pada tokoh dan konfliknya. Tahun 1998, tahun novel ini memenangkan sayembara, sekaligus perayaan kabut asap memenuhi paru-paru warga Palangka Raya untuk pertama kali. Sebuah kisah menarik. Yang sayangnya jadi kabur karena konfliknya seakan terpisah dari latar tempat tulisan ini berpijak. 

Jangan lupa, blurb-nya yang kelewat jelas.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama